KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor infrastruktur diproyeksi masih akan berat di sisa tahun 2024. Sentimen positif dari penurunan suku bunga ternyata belum bisa mengerek kinerja IDX Infrastructure yang saat ini masih di zona merah. Melansir data laman Bursa Efek Indonesia (BEI), kinerja IDX Infrastructures sudah turun 1,48% sejak awal tahun alias year to date. Per hari ini, evaluasi minor BEI terhadap konstituen IDX Infrastructures juga mulai berlaku hingga 31 Desember 2024. Research Analyst Phintraco Sekuritas Muhamad Heru Mustofa melihat, kinerja IDX Infrastructure secara YTD memang masih turun seiring dengan peralihan kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuju pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Baca Juga: Kinerja MDKA dan MBMA Moncer di Semester I-2024, Cek Rekomendasi Sahamnya Hal ini menyebabkan pasar cenderung menunda untuk melakukan investasi di sektor infrastruktur, terutama konstruksi. Memang ada narasi bahwa Prabowo Subianto akan melanjutkan pembangunan IKN yang diinisiasi oleh pemerintahan presiden Jokowi. Namun, berdasarkan RAPBN 2025, anggaran belanja negara untuk pembangunan infrastruktur mengalami penurunan sebesar 5,5% secara tahunan alias year on year (YoY) menjadi Rp 400 triliun, dari Rp 423 triliun pada APBN 2024. Melihat kondisi tersebut, maka proyek pembangunan infrastruktur pada tahun 2025 akan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2024. “Dengan adanya pengurangan proyek pembangunan infrastruktur, tentu akan berpotensi mempengaruhi kinerja keuangan emiten di sektor infrastruktur, terutama emiten konstruksi BUMN yang sangat bergantung pada investasi pemerintah,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (1/10). Heru menilai, kinerja IDX Infrastructure berpotensi membaik seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter atau pemangkasan suku bunga di sisa paruh kedua tahun ini. “Pemangkasan suku bunga dapat berpotensi mengurangi beban bunga emiten infrastruktur. Mayoritas emiten infrastruktur memiliki beban bunga tinggi akibat utang yang relatif tinggi,” ungkapnya. Di sisa tahun 2024, emiten telekomunikasi akan menopang kinerja IDX Infrastructure, jika dibandingkan dengan emiten konstruksi. Hal ini dikarenakan kinerja emiten telco berpotensi memiliki prospek yang lebih baik ke depannya dibandingkan konstruksi. Terutama, jika rencana merger antara PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) terealisasi. Jika rencana merger tersebut terealisasi, maka pemain di industri telco akan semakin sedikit, sehingga dapat membuat persaingan usaha semakin sehat.
Baca Juga: Mitra Keluarga (MIKA) Dapat Rekomendasi Beli dari Maybank Sekuritas, Ini Alasannya “Kondisi tersebut berpotensi mendorong kinerja keuangan emiten telco dan dapat berkorelasi positif terhadap pergerakan harga saham emiten telekomunikasi, sehingga kinerja IDX Infrastructure dapat membaik,” paparnya. Heru merekomendasikan
buy on support untuk
EXCL dengan target harga di Rp 2.400 – Rp 2.470 per saham, dengan entry di level Rp 2.200 per saham dan stop loss Rp 2.130 per saham.
TLKM, rekomendasinya
wait and see dengan target harga Rp 3.200 – Rp 3.250 per saham, dengan entry di level Rp 2.880 – Rp 2.900 per saham dan stop loss di Rp 2.760 per saham.
TOWR, rekomendasinya
trading buy dengan target harga Rp 935 – Rp 965 per saham, dengan entry di level Rp 845 per saham dan stop loss di Rp 815 per saham.
JSMR, rekomendasinya
buy on support dengan target harga Rp 5.200 – Rp 5.350 per saham, dengan entry di Rp 4.860 per saham dan stop loss di Rp 4.690 per saham.
WIKA, rekomendasinya
buy on support dengan target harga di Rp 400 – Rp 460 per saham, dengan entry di level Rp 354 per saham dan stop loss Rp 334 per saham.
PTPP, rekomendasinya
buy on support dengan target harga di Rp 482 – Rp 500 per saham, dengan entry di level Rp 426 per saham dan stop loss di Rp 410 per saham. Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta Utama melihat, penurunan kinerja IDX Infrastructure disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, penurunan kinerja keuangan dan saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Penurunan kinerja itu salah satunya terkait dengan dinamika masuknya Starlink ke Indonesia. Dalam evaluasi minor BEI terhadap IDX Infrastructure, bobot
TLKM pada indeks tercatat turun dari 9,28% menjadi 9%. Jumlah saham TLKM untuk indeks juga turun menjadi 2,97 miliar. “Selain itu, investasi TLKM di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) juga masih merugi,” tuturnya. Kedua, kinerja emiten BUMN Karya yang masih merah. Hal ini disebabkan arus kas negatif yang masih dialami PT Waskita Karya Tbk (
WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (
WIKA). Namun, seiring dengan adanya euforia penyelenggaraan HUT RI 79 di Ibu Kota Negara (IKN) dan kepastian kelanjutan pembangunannya di era kepemimpinan Prabowo Subianto nanti, kinerja emiten BUMN Karya bisa pulih. Harga saham mereka pun nanti bisa ikut terapresiasi. Apalagi, kinerja fundamental yang masih baik dari
PTPP dan
ADHI, serta
WIKA yang berhasil membalikkan rugi menjadi laba di semester I 2024. Ini tercermin juga dari bobot WIKA dan WSKT terhadap IDX Infrastructure yang masing-masing naik ke 1,33% dan 1,38%. Bobot PTPP pada indeks juga naik ke 1,28% dan bobot ADHI juga naik ke 0,82%. “Mereka mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan yang progresif. Jadi bisa mencatatkan peningkatan kinerja baik dari sisi
topline atau dari sisi
bottomline,” ungkapnya. Untuk TLKM, prospek kinerjanya akan dipengaruhi secara positif dari permintaan atas koneksi telekomunikasi dan internet yang meningkat. Selain itu, para emiten infrastruktur juga harus bisa berkomitmen dalam melakukan ekspansi dan proyek, terutama di proyek strategis nasional (PSN).
“Ekspansi proyek di luar negeri juga bisa dilakukan, tetapi harus diperhatikan juga apakah akan berdampak negatif ke arus kas atau tidak,” tuturnya. Nafan merekomendasikan
accumulative buy untuk
TLKM,
EXCL, dan
WIKA dengan target harga terdekat masing-masing Rp 3.150 per saham, Rp 2.340 per saham, dan Rp 416 per saham. Rekomendasi
buy on weakness diberikan untuk
ADHI dengan target harga terdekat Rp 302 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi