KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Performa emiten perkebunan sejak awal tahun ini menciut lantaran sentimen penurunan harga minyak sawit mentah atawa
crude palm oil (CPO). Salah satu emiten yang terkena imbasnya adalah PT Tunas Baru Lampung Tbk. Emiten ini mencatat kinerja buruk sepanjang kuartal I lalu. Kini, emiten berkode saham TBLA ini tengah berharap momentum Ramadan bisa memoles kinerjanya di pengujung kuartal II mendatang. Per akhir Maret 2018, pendapatan TBLA cuma Rp 2,1 triliun. Angka ini turun 4% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Lesunya pendapatan turut menekan laba bersih perusahaan ini, yang merosot 27% menjadi Rp 202 miliar.
Analis Bahana Sekuritas Gregorius Grey mengakui, kinerja TBLA di awal tahun ini memang di bawah ekspektasi. Capaian pendapatan dan laba bersih emiten di kuartal-I hanya memenuhi masing-masing 22% dan 17% dari estimasi Gregorius terhadap kinerja TBLA untuk setahun penuh. Dalam risetnya 2 Mei lalu, ia memaparkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja TBLA kurang memuaskan. "Tren menurunnya harga CPO global turut menyeret harga jual rata-rata atau
average selling price (ASP) CPO TBLA," tulis Gregorius. Sepanjang kuartal pertama lalu, ASP CPO TBLA turun 2% menjadi US$ 632 per ton. Selain itu, penjualan gula rafinasi TBLA juga turun karena rendahnya suplai maupun permintaan di awal tahun. "Kuartal I cenderung menjadi kuartal terlemah sepanjang tahun karena musim panen yang rendah, baik untuk kelapa sawit maupun tebu," ujar Gregorius. Hingga tahun lalu, segmen gula rafinasi menyumbang sekitar 36% dari pendapatan TBLA. Tahun ini, emiten ini berniat meningkatkan porsi tersebut hingga 50%. Penurunan laba bersih TBLA, tambah Gregorius, juga terjadi akibat besarnya kerugian kurs yang dibukukan perusahaan ini. TBLA mencatat kerugian dari mata uang asing (
forex loss) mencapai Rp 21 miliar, atau naik Rp 1 miliar dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Perbaikan harga CPO Kendati demikian, masih ada harapan kinerja TBLA akan membaik bersamaan dengan emiten perkebunan lainnya di kuartal II ini. Pasalnya, harga CPO mulai menunjukkan tenaga di tengah momentum bulan Ramadan dan jelang lebaran ini. Pada perdagangan Senin (21/5), harga CPO kontrak pengiriman Agustus 2018 di Malaysia Derivatives Exchange ditutup di RM 2.446 per metrik ton. Sejak awal Mei, harga CPO terhitung sudah menguat 3,64%. Analis Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe berpendapat, periode Ramadan hingga lebaran memang menjadi faktor kuat yang bisa mendorong kenaikan harga CPO, seiring dengan naiknya permintaan. "Potensi gagal panen jagung dan kedelai karena faktor cuaca juga berpotensi menahan harga CPO tetap tinggi hingga akhir tahun nanti," kata dia, Selasa (22/5). Selain itu, saham-saham emiten perkebunan sudah mengalami tidur panjang selama dua tahun terakhir. Ia memprediksi, tahun ini hingga tahun depan seharusnya menjadi momentum bagi emiten CPO untuk bangkit. Namun, Kiswoyo tak yakin sepenuhnya tren membaiknya harga CPO akan berpengaruh signifikan pada kinerja TBLA ke depan. Pasalnya, emiten ini membagi gerak bisnisnya dengan segmen gula rafinasi. "Dampak ke TBLA sepertinya tidak akan sebesar dampak ke emiten lainnya yang 100% menjalankan bisnis di segmen CPO," prediksi dia.
Karena itu, Kiswoyo memilih memberi rekomendasi
hold bagi saham TBLA dengan target harga Rp 1.100 per saham. Sementara, Gregorius mempertahankan rekomendasi beli saham TBLA dengan menurunkan target harganya. Ia mengubah target harga dari sebelumnya Rp 2.000 menjadi Rp 1.750 per saham. Gregorius memprediksi akhir tahun nanti TBLA mampu mencatat pertumbuhan pendapatan 10,4% menjadi Rp 9,1 triliun. Sementara, laba bersih diperkirakan naik 9,8% menjadi Rp 1,04 triliun. Adapun, analis UOB Kay Hian Edward Lowis masih menyarankan beli saham TBLA dengan target harga sebesar Rp 1.700 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati