KONTAN.CO.ID - BOWOMBARU. Bayangkan sebelum ada akses internet, siswa-siswi dan guru-guru SMP Negeri (SMPN) 1 Melonguane Timur harus berpindah-pindah tempat belajar demi mendapatkan sinyal karena wilayah mereka masuk ke dalam
blankspot. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Melonguane Timur Supartiningsih menceritakan, pembelajaran manual perlahan telah dikombinasikan dengan metode digital. Tetapi siswa dan guru harus mengeluarkan tenaga lebih karena tidak ditunjang dengan akses internet yang memadai di desanya. “Jadi kami harus pergi mencari sinyal, ke pantai dulu jaraknya 50 meter dari sekolah. Kalau masih tidak dapat sinyal, kami harus pindah ke tempat lain yang jaraknya agak jauh. Biasanya ada dua titik yang kami datangi,” cerita Supartiningsih kepada Tim Jelajah Ekonomi Berkelanjutan KONTAN saat bertandang ke sekolahnya, Kamis (29/8).
Pun sekalinya mendapatkan sinyal, jika sudah digunakan banyak orang, kecepatan internetnya langsung anjlok. Orang di sini menyebutnya dengan istilah lalot atau lamban.
Baca Juga: Berteman Sepi Demi Menjaga Koneksi Aktivitas mencari sinyal ini dilakukan tiap sebulan sekali khusus pada jam pelajaran P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Caranya, siswa akan dibagi ke dalam beberapa kelompok dan berjalan bersama-sama menuju
spot sinyal internet biasanya didapat. Menariknya, orang tua murid juga antusias ikut berjalan bersama anak-anak sekalian piknik karena belajar di luar ruangan dilaksanakan dalam waktu cukup lama. Perjalanan mencari sinyal dimulai dari sekolah pada jam setengah 8 pagi, kemudian berlanjut mengerjakan tugas. Aktivitas ini berakhir pada jam 1 siang, bertepatan dengan waktu jam pulang sekolah. Selain murid, guru-guru pun juga cukup kesulitan dengan mulainya digitalisasi di saat akses internet minim. Apalagi di masa pandemi Covid-19, saat pembelajaran tatap muka dibatasi. Alhasil proses belajar mengajar dialihkan di rumah masing-masing. Tugas dan pekerjaan rumah (PR) diberikan melalui WhatsApp. Mau tidak mau para guru harus siap sedia jaringan internet untuk menerima pesan dari murid hingga orang tua. Demi mendapatkan jaringan yang lebih stabil, sering kali guru-guru harus menempuh perjalanan sekitar setengah jam ke Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud menggunakan kendaraan bermotor. Berdasarkan GoogleMaps, jarak dari Melonguane Timur ke Melonguane sendiri kira-kira sejauh 10,6 kilometer.
Akses internet masuk
Akhirnya, pada Desember 2023, SMPN 1 Melonguane Timur mendapatkan akses internet langsung dari Satelit Republik Indonesia 1 (Satria-1) yang diberikan melalui BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Di area pekarangan sekolah dekat kelas, dipasang satu VSAT (Very Small Aperture Terminal) atau antena parabola kecil yang berfungsi menangkap sinyal langsung dari satelit. Setelah dilengkapi dengan perangkat lain, siswa-siswi berikut dengan guru-guru di SMPN 1 dapat mengakses internet melalui wifi. Supaya internet tidak digunakan orang di luar sekolah, maka jangkauan aksesnya tidak terlalu jauh. Kata sandi wifi juga diganti secara berkala. “Kami sangat terbantu setelah internet masuk, hampir semua mata pelajaran langsung mengalami perubahan menjadi lebih maju,” jelasnya. Sayangnya, akses internet di wilayah terpencil ini masih belum maksimal. Saat cuaca bagus, internetnya bisa mengakomodasi kebutuhan 94 siswa dan guru-guru. Namun kalau mendung, wifi menjadi
lalot. Apa lagi kalau hujan deras. Akhirnya, pembelajaran dibuat berkelompok maksimal 5 kelompok per-kelas untuk membatasi pemakaian
gadget melalui laptop dan komputer sekolah saat kecepatan internet tak selaju biasanya.
Baca Juga: Belasan Jam Mengarungi Lautan Demi Menginjakkan Kaki di Talaud Perubahan yang terjadi saat internet sudah dapat diakses langsung di sekolah ialah dapat memaksimalkan pemanfaatan platform Merdeka Mengajar. Sebagai informasi, platform ini dibuat untuk mempermudah guru mengajar sesuai kemampuan murid serta menyediakan pelatihan untuk tingkatan kompetensi. “Saya senang sekali guru-guru suka mengembangkan kompetensinya dengan mengunduh modul belajar hingga memberikan contoh soal yang lebih beragam ke murid,” ceritanya. Bagi murid, akses internet dapat memudahkan mereka untuk mencari informasi lebih luas. Sehingga sekolah memperbolehkan anak-anak membawa ponsel pintar untuk menunjang pembelajaran. “Saat ada lembar kerja
online mereka bisa langsung mengerjakannya,” kata Supartingsih.
Namun bukan berarti anak-anak diberikan kebebasan memegang
smartphone selama waktu sekolah. Guru-guru akan menyita ponsel murid dan baru diberikan ketika dibutuhkan. Akses Internet di SMPN 1 Melonguane Timur ini bak secercah harapan di dalam wilayah terpencil. Supartiningsih percaya, terbukanya akses informasi yang lebih luas dapat mengantarkan anak muridnya menjadi lebih pintar, bahkan bisa mengikuti olimpiade. Hanya saja fasilitas yang sudah saat ini dirasa belum mencukupi. Supartiningsih berharap, akses internet dapat diperkuat lagi lantaran jumlah peserta didik terus bertambah dari tahun ke tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi