KONTAN.CO.ID - JAKARTA Adakalanya Anda menangis atau tertawa keras ketika menonton sebuah film asing. Selain dari visual gambar, emosi penonton juga bisa disentuh lewat untaian kata-kata subtitle atau terjemahan percakapan.
Di sinilah letak peran penerjemah film. Tak hanya menerjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, namun mereka juga harus pandai memilih kata-kata supaya benar-benar selaras dengan cuplikan adegan dan jalannya cerita.
Salah satu penerjemah muda yang aktif adalah Benedictus Naratama dari Bekasi, Jawa Barat. Ia mengaku telah memulai pekerjaan sebagai penerjemah sejak tahun 2015.
Awalnya, dia bekerja secara penuh MNC Skyvision. "Jadi penerjemah subtitle dan klien mereka channel ternama, seperti Fox Group, HBO, dan lainnya," ujar Bina, panggilan akrab Benedictus kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Sebagai lulusan S2 Penerjemahan Universitas Indonesia, Bina tentu saja sudah terbiasa dengan pekerjaan menerjemahkan. Pasalnya, sejak duduk di bangku sekolah, dirinya kerap membantu tugas temannya atau menerjemahkan buku-buku berbahasa Inggris. "Dari kegemaran untuk menerjemahkan bahasa Inggris ke Indonesia, akhirnya terpikir untuk bekerja di bidang ini dan menghasilkan uang," tuturnya.
Kini, setelah memutuskan keluar sebagai penerjemah in-house di MNC Skyvision, Bina juga menjadi penerjemah tetap di Ernst and Young dan freelancer di ATM Studio Indonesia. Dalam sebulan, Bina bisa mengerjakan 20 program lebih dengan durasi bermacam-macam.
Hampir semua tayangan di televisi berbayar diterjemahkan oleh Bina. Seperti tayangan Discovery, National Geographic, HBO, Fox Movie, History Channel, Fox Live, Lifetime, Syfy, Iflix, KIX Channel, Food Network, AFC, E-Channel, dan lainnya.
Untuk jasanya, Bina mematok tarif penerjemahan sebesar Rp 125.000 per 30 menit program. Tetapi, rata-rata program yang diberikan berdurasi satu jam bahkan lebih. Satu program itu bisa dia selesaikan dalam 1,5 hari. Dalam sebulan, Bina bisa mendapat omzet sekitar Rp 5 juta bahkan lebih.
Untuk mendapatkan order penerjemah, Bina hanya mengandalkan koneksi mulut ke mulut atau melalui rekanan penerjemah lain. Termasuk juga sosial media juga jaringan Linked In. "Karena yang menggunakan jasa selama ini perusahaan yang punya klien vendor tertentu. Dan vendor yang punya koneksi ke production house atau perusahaan yang distribusi dan pegang lisensi program asing itu, kalau individu riskan," pungkasnya.
Pelaku Industri kreatif di bidang penerjemah lainnya M. Gilang Toni Patmadiwiria. Pria berusia 27 ini memulai kariernya sebagai editor subtitle film pada Januari 2014. Namun di pertengahan 2015, Toni memilih untuk menjadi penerjemah sebagai pekerja lepas (freelance).
Memiliki latar belakang pendidikan sastra Inggris, Toni mengaku dapat menerjemahkan berbagai jenis film. "Semua film hajar. Cuma belakangan rutin mendapat variety show. Karena agensinya agensi dari Korea. Pernah drama juga. Terkadang Netflix juga. Kalau layar lebar, belum pernah," ungkap Toni kepada KONTAN pada Sabtu (9/12).
Pada prinsipnya, Toni menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Namun bila film tersebut tidak berbahasa Inggris, biasanya diterjemahkan dulu oleh penerjemah asal negara film ke bahasa Inggris. Barulah Toni menerjemahkan ke bahasa Indonesia.
Pria berusia 27 tahun ini mengatakan, sebagai penerjemah lepas, ia mengambil tiga sampai empat film per pekan. Toni juga menuturkan rekan seprofesi ada yang mampu mengambil tujuh film atau lebih setiap pekan. Bahkan, ada penerjemah yang memiliki pekerjaan tetap, hanya mengambil satu atau dua film saja.
Tio mengaku lebih sering menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. "Cuma karena kebanyakan yang masuk itu film impor, jadi untuk terjemahan Indonesia-Inggris cukup jarang," tutur Tio.
Biasanya, untuk menyelesaikan sebuah film Toni diberi tenggang waktu sepekan. Tapi, ada juga yang hanya dalam beberapa jam. Namun Toni lebih banyak menerima order dengan tenggang waktu penyelesaian dalam dua hari.
Berbicara soal tarif atas jasanya, Toni bilang, biasanya ditentukan oleh klien dengan hitungan per menit. "Biasanya, kami mengikuti klien. Jadi, ya tidak ada standar tarif tetap untuk penerjemah film di Indonesia. Karena masing-masing kebutuhan klien berbeda, kebanyakan kami ikut tarif klien," kata Toni.
Ambil contoh, ada klien yang menghargai profesinya US$ 20-US$ 30 per jam. Bagi klien yang cukup populer memberikan tarif US $ 0,7-1 per menit. Tarif atas ini biasanya untuk film-film layar lebar, lawas, atau eksklusif dari channel TV tertentu. Biasanya berdurasi lebih dari satu jam.
Menurut Toni, tarif untuk penerjemah kadangkala dipandang sebelah mata. "Terutama untuk yang charge per jam. Menurut kami, terlalu kecil untuk ukuran penerjemah, apalagi yang sudah berpengalaman dan terbukti bagus," kata Toni.
Toni tidak melakukan pemasaran khusus. Ia hanya mengandalkan relasi. Sebab, menurutnya industri ini udah semakin berkembang baik. "Film-film di televisi berbayar maupun layar lebar sudah punya pasar jelas di Indonesia, sehingga lebih banyak klien yang datang dan semakin ketat persaingannya," jelasnya.
Tak heran, Toni terbilang kebanjiran order. Kendati begitu, ia berprinsip untuk memberikan pekerjaan terbaik dan selalu menjaga relasi. "Jaga performa kerja, konsisten dengan preferensi, dan yang penting mau belajar serta terbuka pada setiap kesalahan," jelas Toni.
Bila masih memiliki waktu senggang, Toni juga menerima jasa penerjemah abstrak skripsi atau manual sih. Sedangkan untuk menerjemahkan dokumen, Toni merasa harus belajar lagi.
Menjadi seorang penerjemah subtitle film juga telah dilakoni Khadis, pemuda asal Purbalingga, Jawa Tengah sejak masih di bangku kuliah. Ia mengawali debutnya sebagai penerjemah karena bergabung dengan komunitas film di kotanya. "Awalnya iseng saja, bantu teman-teman di komunitas film, mulai tahun 2006. Tapi menjadi penerjemah profesional baru sejak tahun 2012," ungkapnya.
Ia tertarik menjadi penerjemah karena tertarik dengan bahasa asing sejak di bangku kuliah, padahal Khadis mengambil jurusan multimedia. Pria 29 tahun ini biasa membantu komunitas film menerjemahkan subtitle dari bahasa Indonesia ke Inggris, terutama saat ada yang ikut festival film. "Setelah lulus kuliah, saya pernah bekerja sebelumnya, pernah buka usaha jasa teknologi informasi juga, tapi akhirnya memutuskan jadi penerjemah saja," tuturnya.
Menurut Khadis, profesi penerjemah memang tidak populer di masyarakat. Meski demikian, saat ini penerjemah masih banyak dicari. Banyaknya film, serial drama maupun serial televisi dari luar negeri yang masuk ke pasar Indonesia membuat jasa penerjemah banyak dibutuhkan.
Kebutuhan industri film dalam negeri pun banyak. "Penerjemah untuk film masih banyak dibutuhkan karena pasti ada saja tawaran kerjaannya. Belakang ini banyak juga film luar yang lama, terjemahannya diperbarui lagi, seperti film Starwars. Dan saya yakin, setiap hari pasti muncul penerjemah baru," kata Khadis.
Ia memasang tarif sebesar US$ 160 per satu jam video untuk klien luar negeri. Sedangkan untuk klien dalam negeri, tarifnya menyesuaikan dengan tawarannya. Kebanyakan penerjemah memang lebih tertarik mengambil tawaran kerjaan dari klien luar negeri karena alasan tarif.
Khadis pernah menggarap subtitle dari klien Eropa dan Amerika. "Karena tarif yang ditawarkan klien luar lebih sesuai dengan kami. Kalau klien dalam negeri kebanyakan murah sekali memasang tarifnya. Kadang bisa kurang dari US$ 50 per satu jam video," tandas Khadis sambil tertawa.
Tarif klien dalam negeri dianggap murah karena tidak sesuai dengan beban kerja dan lama proses pengerjaan. Khadis menjelaskan, untuk mengedit video dengan durasi satu jam, membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari. Belum lagi proses penyelarasan antara kata-kata dengan adegan di videonya.
Khadis mengatakan tantangan mengedit subtitle video ada pada penyelarasan dengan durasi. Sehingga, penerjemah harus pintar-pintar memilih kata yang singkat dan padat, tanpa mengubah arti.
Proses itulah yang memakan waktu paling lama bagi penerjemah. "Biasanya dalam satu adegan video itu ada karakter maksimal untuk subtitle dan itu sudah diseting di perangkat lunaknya. Misal, satu adegan, karakter maksimalnya 42 ya harus 42, kalau lebih satu jadi 43 karakter saja, pasti tidak bisa dimasukkan dan harus ulang lagi dari awal, mikir lagi," jelasnya.
Karena beban kerja yang cukup memeras otak dan butuh waktu lama, maka dari itulah, tarif penerjemah sering dianggap tinggi. Namun sayangnya, di dalam negeri sendiri belum bisa menghargai tarif penerjemah sesuai dengan kerja keras dan beban kerjanya.
Meski hanya menerjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, menerjemahkan narasi atau percakapan dalam sebuah film bukan pekerjaan mudah. Menurut Benedictus Naratama, saat awal menggeluti profesi penerjemah film, dia tak bisa langsung dengan mudah menyelami pekerjaan ini.
Harus ada bakat maupun passion supaya bisa menggeluti profesi ini dengan baik. "Tidak sekadar memahami satu kalimat, tapi harus bisa menjelaskan lagi dengan kalimat yang mudah dipahami," tutur Bina, panggilan akrabnya.
Sayang, kebanyakan profesi penerjemah diremehkan karena hanya berbekal latar belakang pendidikan lulusan bahasa Inggris pun bisa jadi penerjemah. Padahal, untuk membentuk sebuah kalimat pun harus sesuai kaidah bahasa Indonesia. "Dan, arti kata harus dijelaskan sesuai budaya Indonesia. Misalnya ada beberapa kalimat yang kurang sopan diterjemahkan menjadi kata yang enak dibaca," terang Bina.
Tantangan lain sebagai penerjemah adalah memberikan hasil terbaik bagi vendor yang memberikan pekerjaan. Seringkali vendor atau klien perusahaan memiliki aturan yang mengharuskan penerjemah menyesuaikan keinginan klien.
Ada yang mementingkan kualitas, ada juga yang mementingkan kuantitas sehingga pekerjaan harus selesai dalam jangka waktu pendek. Hanya saja, ini kembali bagi kemampuan penerjemah.
Bagi Bina, yang menarik selama melakoni profesi ini adalah dia bisa mempelajari semua bidang dan memperluas wawasannya. Seperti, ekonomi, hukum, kedokteran, otomotif, iklan, pendidikan dan lainnya. Satu hal yang sangat disukai penerjemah adalah dia menjadi penonton pertama bagi film atau program asing yang akan tayang.
Tantangan menjadi penerjemah juga dialami oleh Toni. Dia mengungkapkan, menjadi penerjemah film memiliki pakem yang berbeda dengan penerjemah biasa. Sebab, profesi ini harus memperhatikan jumlah karakter per detik supaya lebih nyaman dibaca oleh penonton. Selain itu juga harus memperhatikan gaya bahasa.
Toni juga harus memilih kosakata yang baku namun tetap kasual karena hal tersebut merupakan ciri khas dari dialog film. Tak hanya itu, penting pula dalam sebuah percakapan menghadirkan gaya bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh para penontonnya. Apalagi, jika pasar film tersebut adalah anak-anak.
Terkadang, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Toni. Apalagi sejumlah kliennya mewajibkan kalimat tak lebih 20 karakter per detik. "Mungkin, ini mudah dilakukan dalam bahasa lain. Namun, jujur kalau untuk bahasa Indonesia ini sulit, karena bahasa Indonesia tidak sesederhana bahasa asing," jelas Toni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News