Pendongeng telah menjadi sebuah profesi yang menggiurkan. Permintaan jasa pendongeng semakin meningkat. Alhasil, pendapatan para pendongeng lumayan besar. Hanya saja, tidak semua orang bisa menekuni profesi ini. Kalau Anda sudah berkeluarga dan memiliki anak, membacakan dongeng bagi anak mungkin sudah bukan hal yang aneh buat Anda. Mungkin, malah setiap malam Anda telah terbiasa meluangkan waktu untuk menceritakan dongeng-dongeng untuk buah hati Anda. Namun, bagi sebagian orang, mendongeng telah menjadi pekerjaan yang mendatangkan penghasilan cukup besar. Bahkan, kini, semakin banyak orang yang menekuni profesi pendongeng atau bahasa kerennya storyteller.
Maklum saja, permintaan jasa pendongeng belakangan ini makin meningkat. Banyak perusahaan dan institusi yang kini memakai jasa para storyteller, baik untuk acara family gathering internal perusahaan maupun untuk promosi produknya. Di samping itu, storyteller juga sering digunakan untuk menyampaikan pesan atau iklan. “Saat ini, banyak perusahaan yang membidik segmen pasar anak-anak mengontrak pendongeng untuk menceritakan kelebihan sebuah produk,” papar Rinto A. Navis, seorang pendongeng. Sekolah-sekolah swasta, mulai dari playgroup sampai sekolah internasional, juga sering memakai jasa pendongeng saat beriklan. Tak ketinggalan, pemerintah juga kerap memakai pendongeng dalam kampanye program-program mereka. Tengok saja yang kisah Awam Prakoso, salah seorang pendongeng. “Jadwal saya keliling Indonesia cukup padat. Satu tahun rata-rata tiga perusahaan meneken kontrak untuk show dalam waktu tertentu setiap minggunya,” ujar pria berusia 37 tahun ini. Belajar meniru berbagai macam suara Awam antara lain pernah diminta mendongeng oleh sebuah perusahaan produsen obat. Ia bertugas membantu promosi obat anak-anak buatan perusahaan tersebut. Selain itu, sebuah perusahaan makanan cepat saji asal Amerika Serikat (AS) juga pernah meminta Awam untuk mendongeng di gerainya. Awam kerap pula mendapat permintaan mendongeng dari sekolah-sekolah. Instansi pemerintah pun kerap memakai jasa Awam. Dalam seminggu sekali, Awam juga mengisi acara anak-anak di stasiun televisi anak Space Toon. Pendongeng lain, Rico Toselly, juga mengaku nyaris tidak pernah sepi order. Bahkan, “Waktu liburan sekolah kemarin, jadwal saya padat sekali. Baru sekarang agak lega,” akunya. Selain mendapat tawaran mendongeng dari banyak perusahaan, Rico kerap diminta mendongeng dalam acara-acara keluarga seperti ulang tahun. Di samping itu, Rico juga harus mengisi acara mendongeng untuk anak di sebuah radio swasta di Jakarta. Tentu saja, para storyteller ini bukan sekadar membacakan cerita-cerita kepada anak-anak. “Pendongeng harus bisa membawakan cerita yang inspiratif, edukatif, dan sekaligus menghibur,” jelas Rinto. Karena itu, bekal seorang pendongeng tidak cukup hanya cerita yang menarik. “Penyampaiannya juga harus unik,” sebut Awam. Inilah salah satu hal yang membuat tidak semua orang bisa dengan mudah menekuni profesi ini. Awam mempunyai cara sendiri untuk memikat anak-anak dalam setiap penampilannya. Ia belajar menirukan berbagai jenis suara, seperti suara ayam, bebek, suara helikopter, burung, dan lain-lain. “Saya sudah menguasai puluhan jenis suara,” ungkap Awam bangga. Serupa dengan Awam, Rico juga berlatih mengubah suaranya sesuai dengan karakter yang ia mainkan. “Yang paling susah menirukan suara perempuan,” cetus pria yang juga seorang pengurus koperasi ini. Untuk menunjang pertunjukannya, para storyteller pun menggunakan perangkat pendukung. Para pendongeng ini, biasanya, menggunakan musik dan berbagai efek suara untuk menghidupkan cerita. Bahkan, agar lagu yang dibawakan sesuai dengan isi cerita, para pendongeng sampai membuat lagu sendiri. Rico, misalnya, menulis sendiri semua lagu yang digunakannya dalam mendongeng. “Memang saya juga pernah memakai lagu yang sudah populer, tapi itu jarang,” ujarnya. Dalam satu cerita, biasanya, Rico membawakan tiga atau empat lagu. Selain itu, ada pula pendongeng yang menggunakan boneka untuk menunjukkan karakter tokoh dalam dongeng. Awam, misalnya, banyak memakai boneka binatang untuk membawakan dongengnya. Beda lagi dengan Rinto. Ia pernah membawakan dongeng dengan bantuan proyektor. Alat ini ia gunakan untuk menampilkan gambar tokoh di buku supaya imajinasi anak lebih berkembang. “Sekarang teknologi makin maju, kita bisa memakai media apa pun untuk menarik perhatian anak,” papar pria yang juga menjabat sebagai Account Manager PT Solusi Media Selular ini. Tapi, banyak juga pendongeng yang tidak menggunakan peraga apa pun. Rico, misalnya. Ia lebih mengandalkan kemampuannya melakukan monolog saat membawakan dongeng. Kebetulan ia memang belajar seni teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Karena itu, ia tidak merasa kesulitan membawakan berbagai karakter dalam dongengnya. Lain lagi cara Dwi Cahyono. Pendongeng yang satu ini menggunakan keahliannya berpantomim untuk membawakan cerita. “Ini inovasi yang terus saya kembangkan,” paparnya. Bayarannya bisa sampai jutaan rupiah Para pendongeng juga memiliki cerita andalan masing-masing. Rata-rata, para storyteller ini membawakan cerita asli bikinan mereka sendiri. “Kalau diminta, saya juga bisa membawakan cerita legenda yang sudah terkenal,” sebut Rico. Rico sendiri lebih suka menceritakan kisah dengan tokoh manusia. Kebanyakan cerita Rico mengambil waktu di masa lalu, misalnya cerita di zaman kerajaan-kerajaan. Yang jelas, Rico selalu menyusupkan unsur petualangan dalam ceritanya. Sementara, Awam sering bercerita tentang hewan. Cerita yang dibawakannya pun tidak melulu dimulai dengan kalimat “Pada zaman dahulu kala”. “Bisa juga saya pakai kalimat pada tahun 2050,” paparnya. Para storyteller ini mengaku menikmati profesi mereka. “Rasanya senang kalau bisa membuat anak-anak tertawa,” ungkap Rico. Selain itu, fulus dari profesi ini cukup lumayan. Rico enggan blakblakan soal tarif ini. Yang jelas, yang paling murah, ia pernah dibayar Rp 500.000. Rinto lebih terus terang. “Saya tidak mematok harga, tapi biasanya Rp 2 juta per jam,” papar putra pengarang terkenal AA Navis ini. Sedang Awam mematok tarif Rp 3,5 juta–Rp 4 juta sekali manggung. Tapi, untuk roadshow, biasanya ia cuma mematok Rp 1,5 juta. “Jadi, untuk urusan dapur pasti gemuk, deh,” ujarnya. Biar Pendongeng, Mereka Tetap Idealis Meskipun para pendongeng mematok biaya hingga jutaan untuk sekali manggung, bukan berarti mereka tidak pernah manggung gratis. Para storyteller ini juga siap mendongeng tanpa bayaran, terutama untuk kegiatan-kegiatan sosial. Pendongeng Awam Prakoso, misalnya memiliki, program Kampung Dongeng. Dengan bendera program ini, Awam mendongeng dari satu kampung ke kampung lain secara gratis. Biasanya, dalam program ini, Awam membawakan cerita yang kental dengan nuansa alam. Tujuannya agar anak-anak akrab dengan alam. Ia sudah pernah mendongeng ke Ciputat, Cipondoh, Bogor, dan Cilegon. “Cita-cita saya bisa mendongeng ke seluruh kampung di Nusantara,” paparnya. Biasanya pula Awam tidak meminta bayaran saat harus mendongeng untuk kegiatan sosial pemerintah. “Kalau pemerintah daerah yang mengundang ke pelosok-pelosok, biasanya saya tidak mematok tarif karena lebih bersifat sosial,” sebut Awam. Rico Toselly, pendongeng lain, juga mengutarakan hal serupa. Ia mengaku pernah manggung untuk anak yatim tanpa bayaran sepeser pun. “Saya juga mempertimbangkan unsur sosialnya,” cetus Rico.
Sementara, pendongeng Dwi Cahyono membuat perkumpulan dongeng bernama Klub Dongeng Kanvas. Di klub ini, Dwi bukan sekadar mendongeng. Ia juga mengajak anak-anak jadi lebih kreatif dengan berbagai kegiatan. Misalnya, membuat prakarya atau menggambar. Lain lagi dengan pendongeng Resha Rashtrapatiji. Pria yang meninggalkan pekerjaan sebagai karyawan untuk mendongeng ini mengaku tidak sembarangan menerima permintaan mendongeng. Biasanya, ia melihat dulu siapa yang mengundang. Kalau ia menilai perusahaan yang mengundang memiliki produk yang tidak baik untuk anak, ia akan menolak tawaran mendongeng. “Jadi, saya termasuk pendongeng idealis,” cetusnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.