Kisah Suryandy Jahja membangun bisnis Kresna Graha Investama



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandai melihat peluang bisnis. Inilah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Suryandy Jahja, Pendiri sekaligus Managing Director PT Kresna Graha Investama Tbk.

Perusahaan yang sukses mengembangkan bisnis digital dan finansial ini didirikan Jahja pada tahun 1999. Namun, siapa sangka bila bisnis digital yang dirintis Jahja ini dilalui tanpa sengaja.

Saat berbincang dengan KONTAN di kantornya, Selasa (21/8), Jahja bilang, awalnya dia hanya mengerti soal teknologi informasi dan belum mengetahui soal seluk-beluk dunia keuangan.


Latar belakang pendidikan yang membuatnya hanya tahu soal teknologi informasi. Jahja lulus kuliah double major pada tahun 1993, untuk Computer Engineering dan Comunication University of New South Wales (UNSW), Australia.

Setelah lulus, dia kemudian bekerja pada perusahaan bernama Oil and Gas Climate Initiative (OGCI) Software Inc. Pekerjaan itu mulai dilakoni pada tahun 1994 untuk kantor di Houston Amerika Serikat (AS). Saat itu dia menjabat sebagai Corporate Account Executive. Saya hanya setahun di sana dan tahun 1995 saya putuskan kembali ke Indonesia," ujarnya.

Pria kelahiran tahun 1970 ini pulang lantaran OGCI Software Inc memintanya membuka pasar di Indonesia. Dia bercerita, ketika itu OGCI Software Inc, telah menunjuk PT Barata Nusantara Prima menjadi perwakilan mereka di Indonesia. Jahja memutuskan kembali ke Indonesia dan menempati posisi sebagai Marketing Manager Representatives. Di perusahaan itu, dia bekerja kurang lebih dua tahun.

Dia berkisah, sebelum memutuskan kembali ke Jakarta pada tahun 1995, dia sempat diberi pilihan untuk bekerja di kantor pusat OGCI atau bekerja di perusahaan perwakilan mereka di Indonesia.

Dengan usia yang masih 25 tahun ketika itu, Jahja melihat potensi berkembang lebih besar jika kemudian dia kembali ke Indonesia. "Saat itu saya pikir, Indonesia is the best opportunity, karena selain Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan, Indonesia ini tanah kelahiran saya. Maka saya putuskan untuk kembali, tuturnya.

Di Tanah Air, Jahja berupaya meningkatkan kompetensi dengan mengambil gelar Magister di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Manajemen Umum dan Teknologi. Dia kemudian lulus tahun 1996.

Keputusannya untuk kembali ke Indonesia, tepat. Walau kemudian Indonesia dilanda krisis ekonomi, namun menurutnya, ada banyak peluang yang bisa dikembangkan di Tanah Air. Apalagi saat itu, Indonesia tengah menjajaki perkembangan sektor digital dan teknologi diberbagai bidang, salah satunya dalam bidang investasi.

Pada tahun 1999 atau setahun setelah memasuki era reformasi, Jahja kemudian mendirikan perusahaan di bidang keuangan dan teknologi terintegrasi. Dia pun duduk sebagai direktur di perusahaan tersebut.

Pada awal berdiri, nama perusahaan ini adalah Kresna Graha Sekurindo. Perusahaan ini mendapatkan izin resmi dari dari Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai perusahaan penjamin efek dan manajer investasi pada tahun 2000. Setelah tiga tahun berjalan atau tahun 2002, Jahja menawarkan saham perdana atau initial public offering (IPO).

Sambil menjalankan bisnis penjamin efek, Jahja juga memimpin Kresna untuk terus berinovasi dan membenahi infrastruktur digital. Dia berupaya agar rencananya membuat perusahaan di sektor keuangan dan digital terintegrasi, bisa menjadi kenyataan.

Menurutnya, pengembangan infrastruktur menjadi strategi inti untuk mewujudkan perusahaan integrator bisnis digital. Apalagi Kresna fokus berinvestasi pada layanan, sebagai solusi pembayaran dan distribusi produk digital.

Fokus kami adalah memberikan kemudahan masyarakat dalam bertransaksi. Digital ini adalah sektor yang bergerak sangat cepat, sektor digital tidak akan pernah menunggu kita. Maka, kita yang harus bergerak cepat untuk terus melakukan inovasi memberikan kemudahan layanan kepada masyarakat dalam bertransaksi, jelasnya.

Bagi Jahja, produk adalah buah atau hasil dari apa yang sebelumnya telah kerjakan perusahaan. Produk bukan menjadi hal paling utama. Sebab, keberhasilan meningkatkan infrastruktur masih lebih utama untuk perusahaannya. Dalam menjalankan bisnis, Jahja percaya, infrastruktur digital yang kuat menjadi strategi kunci untuk menjalankan layanan pada produk-produk digital lintas sektor.

Dia lebih memilih membangun infrastruktur ketimbang melakukan berbagai macam strategi pemasaran. Dia yakin suatu saat, dalam waktu dekat, infrastruktur yang telah dibangunnya, akan siap menggerakkan produk-produk yang dihasilkan perusahaan.

Walau begitu, inovasi produk tetap dilakukan. Hal itu beriringan dengan pengembangan bisnis Kresna. Pada tahun 2011, perusahaan ini membentuk PT Kresna Asset Manajemen dan bergerak sebagai Manajer Investasi.

Pada tahun 2015, sebagai bagian dari pengembangan perusahaan, Jahja menyerahkan bisnis penjaminan emisi kepada anak usaha yang baru dibentuk yakni PT Kresna Sekuritas. Pada tahun yang sama, Jahja juga membentuk PT Kresna Usaha Kreatif (KUK) untuk melirik bisnis e-commerce. Semua anak usaha tersebut berada di bawah payung PT Kresna Graha Investama Tbk.

Ekspansi dan inovasi

Ekspansi bisnis digital terus digerakkan Jahja. Kresna Graha juga mendirikan tiga anak usaha berbadan hukum Singapura, yakni Pacifica Growth Investments Pte Ltd, Queenstown Growth Investments Pte Ltd, dan Raffles Global Ventures (RGV) Pte Ltd.

Dari dua anak usahanya, yakni KUK dan RGV, Kresna Graha membentuk tujuh anak usaha rintisan (startup) dibidang teknologi dan digital, yaitu PT Digital Artha Media (e-wallet), PT Indo Corpora Investama (e-travel & payment), PT Arjuna Indotech Media (digital entertainment & media), PT Dini Nusa Kusuma (mobile satellite service), PT Supra Kreatif Mandiri (e-groceries), PT Dua Empat Print (mobile cloud printing) dan KPISoft Pte Ltd (SaaS business performance).

Dia yakin bisa mengembangan tujuh perusahaan rintisan digital yang masuk dalam portofolionya. Untuk itu, diperlukan kunci kesuksesan, terutama pada aspek kemitraan atau partnership. Yang saya lakukan adalah mengombinasikan berbagai macam sektor. Seperti sekarang saya masih berkecimpung di bidang teknologi informasi (TI) dan mengombinasikannya dengan keuangan sehingga menghasilkan profit," katanya.

Menurutnya, kerjasama tim sangat berpengaruh pada kesuksesan bisnis perusahaan. Hal ini tentunya jika didukung dengan pengetahuan serta pengalaman mendalam pada bidang atau sektor yang telah dimiliki oleh masing-masing tim.

Baginya, dalam menjalankan bisnis, ada filosofi yang harus selalu dipegang dan implementasikan. Filosofi itu adalah kebersamaan. Oleh karena itu, tidak ada ambisi darinya untuk bisa mengakuisisi suatu perusahaan sehingga kepemilikan saham bisa 100%. Dia mengaku lebih memilih untuk menjalankan perusahaan secara bersama-sama. Karena dengan menjalin kemitraan, ekosistem perusahaan menjadi sangat kuat.

Untuk mengejar visi perusahaan sebagai integrator bisnis digital, Jahja bilang, diperlukan strategi kunci yakni natural use case product. Artinya, Dalam melakukan kombinasi sektor digital dengan sektor lainnya, inovasi yang kami ciptakan selalu berkaitan dengan produk yang secara alamiah diperlukan masyarakat," ujarnya.

Dengan strategi itu, maka dia mencontohkan, pada lini bisnis di bidang fintech. Setiap harinya perusahaan itu mencatat ada lebih dari 1 juta transaksi. Sedangkan di lini bisnis bidang hiburan yaitu platform streaming OONA, mencatatkan peningkatan pengguna yang signifikan setiap harinya mencapai 50.000 pengguna baru.

Walau banyak usaha rintisan yang berdiri, namun Jahja mengaku, untuk menyalurkan investasi ke sektor digital tak selalu mulus. Tanpa menyebutkan kendala yang dialaminya lebih detail, dia bilang, kendala-kendala itu memberinya pelajaran berharga agar lebih kuat mendorong laju performa perusahaan startup yangada dalam portofolio perusahaan.

Apalagi, ada beberapa perusahaan yang telah disuntik modal, namun menunjukkan performa yang lambat. Banyak faktor yang melatarbelakangi lambatnya performa perusahaan, seperti tim yang kurang solid, kinerja yang lambat atau bahkan perusahaan yang dihadapkan dengan kompetitor dengan pergerakan yang lebih cepat.

Karena itu, dalam satu tahun terakhir ini, Jahja mengakui perusahaannya menetapkan standar dalam menyeleksi perusahaan rintisan yang cocok.

Dia akan tetap menyalurkan investasi di bisnis digital karena sektor ini menjanjikan dalam beberapa waktu ke depan. Tidak hanya di dalam negeri, dia juga mengincar perusahaan rintisan luar negeri. Kami juga berinvestasi di modal ventura asal Singapura, Vickers Venture," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat