Kisruh penerimaan siswa baru, IGI: Pemda gagal kelola PPDB berbasis zonasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Guru Indonesia (IGI) menilai kisruhnya pendaftaran peserta didik baru (PPDB) di sejumlah daerah disebabkan gagalnya pemerintah daerah (pemda) mengelola PPDB berbasis zonasi. Padahal kebijakan ini telah diterapkan sejak tiga tahun lalu.

"Ini sudah masuk tahun ketiga baru ribut. Jadi buat saya ini adalah bentuk kegagalan pemerintah daerah mengelola PPDB berbasis zonasi dan mengantisipasi semua masalah yang mungkin terjadi karena di beberapa daerah sukses melakukan itu (zonasi PPDB)," kata Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim ketika dihubungi, Kamis (20/6).

Atas dasar itulah, IGI meminta kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan beberapa hal agar pelaksanaan PPDB ke depannya semakin berjalan baik.


Pertama, setiap pemda harus mendata siswa SD/sederajat yang berpotensi masuk ke jenjang SMP/sederajat, data siswa SMP/sederajat yang masuk ke jenjang SMA/SMK/sederajat.

Kedua, pemda seharusnya menggunakan data kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) agar peserta didik yang mendaftar di sekolah benar-benar peserta didik yang berasal dari daerah tersebut.

"Seperti di Sulawesi Selatan yang membuat aturan bahwa alamat yang diakui adalah alamat setahun yang lalu (setahun sebelum PPDB). Jadi bukan tiba-tiba alamat baru," kata Ramli.

Ketiga, dengan adanya data dukcapil, pemda semestinya membuat langkah antisipatif terhadap kemungkinan banyaknya peserta didik yang melakukan pendaftaran pada tahun ajaran baru.

Ramli mencontohkan, Pemerintah Kota Makassar berhasil menerapkan zonasi PPDB dengan melakukan analisa data dari data dukcapil dan potensi siswa yang akan melakukan pendaftaran. Kemudian dari analisa data itu, dinas pendidikan memprediksi jumlah siswa yang berpotensi mendaftar di setiap jenjang pendidikan dan ketersediaan sekolah yang ada.

"Kalau sekarang ributnya, jangan ribut ke pemerintah pusat, zonasi (PPDB) tidak punya masalah, karena zonasi ini tujuannya sangat mulia, membuat semua sekolah sama baiknya," ungkap dia.

Ramli mengatakan, sistem zonasi PPDB memiliki beberapa dampak positif. Pertama, membuat akses sekolah peserta didik terjangkau karena sekolahnya betada di wilayah sesuai dengan domisilinya. Sehingga secara tidak langsung juga mengurangi kemacetan. Kedua, membuat guru-guru unggulan dan siswa unggulan tidak hanya terkumpul dalam satu sekolah, tetapi tersebar di setiap sekolah.

"Kompetisi akan tetap terjadi, tetapi ini bergeser dari kompetisi antar individu menuju sekolah unggulan menjadi kompetisi antar siswa antar sekolah," kata dia.

Ketiga, zonasi ini membuat perbaikan sarana prasarana sekolah tertuju kepada sekolah unggulan, tetapi juga ke merata ke setiap sekolah. Keempat, mencegah terjadinya kasus "suap" di sekolah unggulan. Kelima, pemerataan akses kualitas pendidikan yang sama terhadap siswa yang pandai maupun siswa kurang pandai.

"Kalau pemerintah hanya mendidik anak-anak yang cerdas, memprioritaskan anak-anak yang pintar, siapa yang mempedulikan mereka yang bodoh, nakal, siapa yang mengurus mereka. Jadi ke depan tidak lagi para juara olimpiade sains berasal dari sekolah-sekolah unggulan, tetapi akan ada juara yang berasal dari sekolah pinggiran," tutur dia.

Disamping itu, Ramli meminta pemerintah menghapus kuota pendaftaran melalui jalur prestasi yang sebanyak 5%. Hal itu agar tidak ada lagi sekolah yang dinilai buruk.

"Saya pikir 5% untuk jalur prestasi dihilangkan saja. 100% dari zonasi. Biarkan anak yang berprestasi ada di sekolah-sekolah yang tidak punya nama, yang dicap buruk, jelek dan sebagainya. Biarkan mereka disitu menjadi orang yang baik, orang yang hebat," kata Ramli.

Sementara itu, Ombudsman Indonesia menerima laporan dari masyarakat terkait pelaksanaan zonasi PPDB 2019. Laporan masyarakat tersebut terbagi kepada dua masalah utama. Yakni berkenaan dengan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap penerapan sistem zonasi dan kesalahpahaman masyarakat tentang pendaftaran PPDB sehingga dibeberapa tempat atau sekolah, sebagian masyarakat harus mengantri dan bahkan hingga bermalam di suatu sekolah.

Mempelajari sejumlah kasus dan laporan masyarakat tersebut, Ombudsman RI menilai pengaturan PPDB tahun ini melalui Permendikbud No.51 Tahun 2018 telah mengalami perbaikan. Diantaranya, padat tahun-tahun sebelumnya Permendikbud tentang PPDB selalu terbit sebulan sebelum pelaksanaan PPDB sehingga menyulitkan daerah atau pemprov dan pemkab/pemkot untuk menyesuaikan dengan aturan baru.

"Sedangkan tahun ini Permendikbud itu sudah terbit setidaknya enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Seharusnya waktu enam bulan dapat digunakan untuk persiapan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan PPDB dan perbedaannya dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga tidak menimbulkan keributan yang mendadak," kata anggota Ombudsman Ahmad Suaedy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/6).

Kemudian, masalah sistem zonasi juga telah menampung aspirasi kondisi daerah-daerah tertentu karena tidak meratanya jumlah sekolah diberbagai daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian sejauh tidak menyimpang dari tujuan utama zonasi, yaitu pemerataan pendidikan dan penghapusan sistem favoritisme.

Namun, Ombudsnan menilai terdapat beberapa kelemahan masih tampak dalam penerapan zonasi. Antara lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan dinas pendidikan di daerah kurang gencar dalam menyosialisasikan Permendikbud yang baru sehingga masih menimbulkan kesalahpahaman ditengah-tengah masyarakat. Kemendikbud juga kurang berkoordinasi dengan Kemendagri dalam penerapan sistem zonasi sehingga beberapa kepala daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut.

Selain itu, Kemendikbud seharusnya tegas dalam menegakkan aturan tentang sistem zonasi tetapi juga komunikatif dengan masyarakat dan Kementrian Dalam Negeri serta pemerintahan daerah sehingga tujuan yang baik dalam penerapan zonasi tersebut akan dipahami oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

Soal adanya antrian yang menimbulkan kekisruhan, hal itu lebih disebabkan karena kesalahpahaman masyarakat bahwa seolah-seolah siapa yang paling duluan membawa berkas ke sekolah akan diterima. Ombudsman RI menyesalkan terjadinya kesalahpahaman tersebut.

Pendaftaran sekolah seharusnya telah dilakukan dengan sistem daring/online yang telah diatur sesuai dengan zonasinya. Berkas calon siswa dibawa ke sekolah dalam rangka verifikasi data, bukan untuk pendaftaran siapa yang paling duluan.

"Kemendikbud dan dinas pendidikan daerah provinsi dan kabupaten/kota serta sekolah di semua daerah hendaknya lebih gencar memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai PPDB," ujar Ahmad.

Ombudsman bilang, disadari atau tidak bahwa mentalitas masyarakat dalam favoritisme sekolah masih kuat sehingga pemerintah secara keseluruhan khususnya Kemendikbud dan Kemendagri agar bekerjasama lebih koordinatif untuk memberikan pengertian kepada masyarakat.

Menurut Ombudsman, mentalitas favoritisme itu terutama disebabkan karena kurangnya persebaran dan pemerataan fasilitas dan mutu sekolah diseluruh pelosok Indonesia sehingga sebagian masyarakat mengkhawatirkan akan mutu pendidikan bagi putra-putrinya.

"Ombudsman RI mendukung sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan, namun pemerintah perlu segera merealisasikan pemerataan fasilitas dan mutu pendidikan yang lebih kongkrit di seluruh Indonesia. Pemerintah pusat secara keseluruhan juga perlu bekerjasama lebih koordinatif dengan pemerintah daerah dalam usaha pemerataan fasilitas dan mutu pendidikan tersebut," jelas Ahmad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat