Kisruh Tiga Pilar (AISA) membuat KKR menimbang lagi investasi di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan investasi asal Amerika Serikat (AS), Kohlberg Kravis Robert & Co (KKR) curhat sulitnya berinvestasi di Indonesia. Ini merunut pada investasi perusahaan investasi tersebut di PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) yang kini sedang dirundung konflik internal.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 27 Juli lalu, KKR yang menguasai 35% saham perusahaan pembuat mie instan dan mendistribusikan beras, serta produk makanan laut itu, sukses mendongkel jajaran Direksi AISA. Ini ditanggapi dengan aksi walkout oleh Direktur Utama AISA Joko Mogoginta dan jajarannya.

Joko juga menuduh KKR telah melakukan hostlie take over, yang berujung pada tergulingnya Joko dari tahta perusahaan itu. Di sisi lain, KKR, menganggap bahwa manajemen AISA telah buruk mengelola perusahaan, sekaligus mempertanyakan beberapa transaksi perusahaan yang dilakukan Joko.


Padahal, perusahaan investasi di bawah naungan Henry Kravis ini sempat dinobatkan sebagai investor asing yang paling menjanjikan.

Meskipun begitu, Kepala KKR Indonesia dan Malaysia Jaka Prasetya masih percaya pada sistem peraturan Indonesia, yang diyakini akan membantu KKR menyelesaikan konflik. Namun, dia mengaku bahwa kejadian saat ini dapat mempengaruhi pendekatan KKR untuk berinvestasi di Indonesia.

“Kami yakin, insiden ini bukanlah representasi betapa sulitnya melakukan bisnis di Indonesia. Indonesia memiliki banyak peluang untuk investasi, tetapi potensi kami sebagai mitra untuk berinvestasi di sini akan semakin minim karena kejadian ini,” ungkap Jaka dalam wawancara dengan Bloomberg.

KKR mulai masuk ke AISA pada 2013 dan saat itu menyebut AISA sebagai perusahaan hebat dengan manajemen terampil. Tiga Pilar sukses membukukan rekor penjualan dan laba di 2016. Bahkan, saham AISA sempat melonjak 61% pada dua tahun lalu.

Sayangnya, masa kejayaan itu tak berlangsung lama. Pada Juli 2017 salah satu gudang milik AISA digerebek aparat hukum. Perusahaan itu disebut telah menjual beras oplosan atau beras kualitas rendah namun dijual dengan harga kualitas premium.

Pasca kejadian itu, harga saham AISA langsung anjlok hingga 25% dalam sehari, dan terus melorot sampai akhirnya disuspensi pada Juli 2018 di level harga Rp 168 per saham. Seiring kondisi tersebut, pendapatan perusahaan pun melorot, sehingga membuat emite itu membukukan kerugian pertamanya di 2017.

Selanjutnya, risiko kemampuan bayar utang perusahaan mulai diragukan, ketika pemegang obligasi menolak rencana perusahaan untuk menjual unit berasnya kepada perusahaan afiliasi. Delapan bulan kemudian, atau Agustus 2018, AISA menyatakan tidak memiliki dana untuk melakukan pembayaran bunga atas beberapa obligasinya.

Lembaga pemeringkat kredit Pefindo menetapkan Tiga Pilar dalam kategori selective default. Jaka yang mewakili KKR dan menjabat sebagai dewan Komisaris Tiga Pilar mengatakan, pihaknya mulai mengajukan pertanyaan awal tahun terkait masalah keuangan AISA yang mulai terungkap.

Dalam wawancara dengan Bloomberg, Jaka menyebutkan bahwa manajemen tidak memberikan informasi memadai atas sejumlah transaksi dan piutang AISA senilai lebih dari Rp 2 triliun ke beberapa perusahaan yang dinilai terafiliasi dengan Direktur Utama Joko Mogoginta.

Bahkan, kata Jaka, meskipun masih ada masalah likuiditas, AISA masih meminjamkan Rp 200 miliar ke PT Jom Prawarsa, perusahaan yang dimiliki Joko Mogoginta untuk akuisisi.

“Jumlah transaksi yang terafiliasi atau yang dipertanyakan tidak terkendali. Satu-satunya cara untuk memiliki kesempatan dalam menyelamatkan perusahaan adalah mencari manajemen baru yang tepat,” kata Jaka.

Kembali lagi ke tantangan investor asing berinvestasi di Indonesia, Goldman Sachs Group Inc dan JPMorgan Chase & Co yang merupakan perusahaan keuangan asing yang dalam dua tahun terakhir juga mengalami kemunduran profil investasi di Indonesia.

"Kasus-kasus ini sering mencerminkan apa yang biasanya terjadi di pasar negara berkembang termasuk Indonesia," kata Direktur PT Ciptadana Sekuritas Asia John Teja, dikutip dari Bloomberg, Kamis (11/10). "Tata kelola perusahaan yang baik sering menjadi masalah di negara ini, dan kerangka peraturan mungkin tidak sebaik di negara-negara maju," tambahnya.

Sementara itu, Joko tidak menanggapi permintaan untuk wawancara oleh Bloomberg. Upaya untuk mendapat konfirmasi dari direksi Tiga Pilar juga tidak membuahkan hasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat