Kita era digital, tapi industrinya tradisional



KONTAN.CO.ID - Meski usianya baru 3,5 tahun, perusahaan manager investasi (MI) PT Pinnacle Persada Investama telah berhasil menelurkan 18 reksadana dan mengumpulkan dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) senilai Rp 4,5 triliun.

Seperti apa strategi bisnisnya? Guntur Putra, President & CEO PT Pinnacle Persada Investama mengungkapkannya kepada jurnalis KONTAN, Asnil Bambani Amri.

Setelah tamat SMA di Jakarta, saya mendapat beasiswa di Arizona State University dengan jurusan computer science.


Kemudian, saya meneruskan kuliah S2 di University of Michigan di jurusan financial engineering. Setelah itu, saya bekerja di Wall Street, sebagai analis di BlackRock, salah satu perusahaan manager investasi terbesar di dunia.

Dari situlah, saya bertemu Andri Yauhari, yang saat itu bekerja di Deutsche Bank AG New York dan Indra M. Firmansyah bekerja di UBS New York.

Kami bertiga mendirikan PT Pinnacle Persada Investama. Semangat kami adalah, apa yang kami lakukan di New York ingin kami lakukan juga di Indonesia.

Kami melihat ada banyak perbedaan industri finansial di New York dan Indonesia, baik kompetensi, expertise, dan lain-lain. Ini yang membuat kami balik ke Indonesia. Tahun 2010, saya berhenti di BlackRock dan kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, saya bukan siapa-siapa. Meski punya pengalaman kerja di perusahaan prestisius, itu bukan jaminan bisa diterima di Indonesia.

Maka itu, kami memulainya dari nol, apalagi saya tidak punya jaringan. Kami mulai tahun 2011, dengan melakukan riset finansial.

Setelah itu, kami membantu investor yang ingin berinvestasi di Indonesia, juga membantu beberapa perusahaan manager investasi (MI) ternama.

Karena rekam jejak sudah kelihatan, baru kami mendirikan Pinnacle Investment pada tahun 2015.

Karena saya berpengalaman menerapkan quantitative investment di New York, saya juga menerapkan strategi ini di Indonesia.

Investasi kuantitatif adalah gabungan dari advanced mathematic, statistik, dan computational methodology. Intinya, kita sudah di era digital, tapi industrinya tradisional.

Fokus teknologi

Kami mendapat izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2015 dan langsung bikin reksadana pertama. Tahun pertama, AUM atau

Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana kami baru di bawah Rp 1 miliar. Setelah itu, baru naik bertahap hingga menjadi Rp 4,5 triliun di akhir 2018.

Hanya dalam hitungan tahun, produk kami meraih penghargaan, termasuk dari KONTAN-Bareksa. Kami membuktikan bisa jadi MI dengan perkembangan tercepat di Indonesia. Strategi kami fokus ke rekam jejak yang solid dan tidak menjadikan AUM sebagai target.

Setelah beroperasi 3,5 tahun, kami mencetak 18 produk, 7 produk reksadana ETF (exchange-traded fund). Kami konsisten sebagai MI berbasis teknologi pertama di Indonesia yang menerapkan strategi investasi kuantitatif.

Fokus kami berbeda dengan MI lain yang melihat analisis fundamental untuk investasi. Kami menentukan arah investasi lewat strategi kuantitatif melalui keahlian insinyur fisika, matematika dan komputer.

Dari 21 karyawan kami, 40% adalah ilmuwan bukan analis. Konsep kami ini telah diterapkan di New York, Jepang dan Eropa.

Dengan strategi kuantitatif, kami melengkapi angka dan data. Boleh dibilang, kami adalah MI yang memiliki data paling lengkap terkait bursa saham Indonesia.

Kami punya data detik per detik transaksi di bursa sejak 20 tahun ke belakang. Dan kami juga membangun database. Kami sadar sekarang era big data, dimana data adalah komoditas yang bisa diperdagangkan.

Sebelum teknologi ekstraksi data ada, setidaknya butuh 20 analis untuk membaca data manual. Sekarang, hanya butuh algoritma.

Makanya, kami punya server developer, data science development, dan quantitative research.

Tapi, memang sesuatu yang baru punya tantangan besar. Ibarat Go-Jek yang melakukan disruptif, yang tentu saja sulit diterima pas awal.

Begitu juga dengan kami. Di awal, kami lebih banyak menyasar nasabah institusi, dana pensiun, asuransi jiwa, dan korporasi.

Ke depan, kami pikirkan bangun brand ritel, karena dari 260 juta penduduk Indonesia, yang investasi hanya 1% sampai 2%.

Namun, ini tentu tak mudah menawarkan sesuatu yang berbeda dari industri asset management di Indonesia. Apalagi kami adalah MI yang ke-80 dari 85-an MI yang terdaftar.

Ada banyak yang mulai sebelum kita, tapi kami punya pengalaman, expertise, transparansi, serta punya tawaran baru.

Untuk pemasaran, kami memasarkan reksadana dengan perusahaan digital. Kanal perbankan baru kami jajaki.

Tantangan saat ini adalah regulasi yang belum sepenuhnya beradaptasi. Namun, OJK sudah membuka diri untuk menyesuaikan regulasinya.      ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga