KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena KKKS Asing yang hengkang dari Indonesia beberapa tahun belakangan disebabkan sejumlah persoalan. Mulai dari kepastian hukum yang lemah, insentif yang kurang menarik, hingga birokrasi yang rumit. Perkembangan terkini, jika kepastian operator pengganti Shell di Blok Masela dan Chevron di proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) sudah terang di tahun ini, maka kedua perusahaan tersebut menambah barisan KKKS Asing yang hengkang dari tanah air. Sejatinya salah satu solusi untuk memperbaiki persoalan ruwetnya di hulu migas saat ini ialah Revisi Undang-Undang Migas (RUU Migas). Namun saban tahun RUU Migas yang katanya akan dibahas masih saja jalan di tempat.
Baca Juga: Ini 3 Masalah yang Bikin Investor Asing Migas Hengkang dari Indonesia Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal menyatakan, idealnya 5 tahun yang lalu RUU Migas sudah rampung dan dijalankan. Sedangkan kalau RUU Migas baru mau dibahas tahun ini ataupun di tahun depan, tentu sudah terlambat. “Undang-Undang Migas jikalau sudah rampung direvisi nanti, tetap harus ada aturan turunannya, berapa lama mempersiapkan turunannya? Misalnya Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (8/5). Selain soal waktu, Moshe juga menyoroti isi atau konten dari RUU Migas, akankah cukup meyakinkan dan menarik untuk investor karena industri hulu migas terus mengalami perubahan. Menurutnya, pemerintah harus fleksibel mengubah regulasi. Salah satu yang terbaru ialah penerapan teknologi CCS/CCUS untuk mengikuti tren transisi energi. Menurut Moshe diperlukan insentif yang lebih menarik dan bisa bersaing dengan negara lain karena investasi CCS/CCUS sangatlah besar dan tidak menghasilkan pendapatan. “Utilization dari CCS/CCUS itu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan perusahaan, jadi penerapan teknologi ini murni beban pengeluaran. Meskipun digabungkan dengan EOR, ujung-ujunganya tidak akan menutup biaya CCS/CCUS nya sendiri,” ujarnya. Menurutnya berubahnya kegiatan investasi di hulu migas saat ini, yang notabene butuh investasi lebih besar, membuat investor asing semakin berhati-hati dalam memilih negara mana yang memberikan kepastian usaha jangka panjang. Moshe melihat bahwa saat ini merupakan masa sulit bagi Indonesia khususnya di industri hulu migas karena modal KKKS Asing ke Asia sangat kecil. Perusahaan migas lebih fokus ke penemuan yang besar misalnya di Perairan Turki. “Sedangkan untuk Chevron dan Exxon kalau bukan karena aset dan potensi migasnya yang cukup besar di sini, lebih baik mereka fokus di aset di negaranya,” ujarnya. Maka itu, kompetisi untuk menarik investor ke Indonesia cukup sengit dengan negara lain. Ditambah pula, saat ini berkembang persepsi di kalangan investor bahwa pemerintah Indonesia seakan-akan melakukan nasionalisasi pada aset hulu migas. “Jadi itu salah satu yang membuat investor menjadi ragu di Indonesia,” terangnya. Jikalau kebijakan hulu migas masih saja jalan di tempat layaknya hari ini, dalam beberapa tahun ke depan Moshe menilai, ada potensi KKKS Asing lain juga ikut hengkang dari Indonesia. “Potensi keluar sih ada saja kapan saja mereka mau keluar kan kita tidak bisa memaksakan mereka untuk terus di sini. Yang bisa kita lakukan hanya memberikan kepastian, ini yang ditunggu-tunggu,” ujar Moshe.
Baca Juga: Begini Strategi SKK Migas Sumbagsel Dorong Produksi Migas di Tahun Ini Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, hengkangnya KKKS Asing dari Indonesia perlu menjadi sinyal bagi pemerintah untuk melakukan auto kritik. “Sebab keluarnya KKKS Asing ini berlangsung beberapa tahun belakangan, kita semua tahu ada yang perlu dibenahi. Pemerintah sudah mengetahuinya dan jangan menunggu sampai terlambat,” ujarnya saat dihubungi terpisah. Namun, Komaidi menilai, industri migas di Indonesia masih prospektif ke depannya karena volume konsumsi energi solar masih cukup besar meskipun ada transisi energi.
Di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) konsumsi energi fosil di Indonesia terus meningkat secara volume hingga 2050 mendatang. Konsumsi energi fosil di 2050 akan mencapai 3,97 juta barrel minyak per hari, jika dibandingkan konsumsi saat ini yang di kisaran 1,4 juta hingga 1,6 juta barrel per hari, artinya akan ada peningkatan dua kali lipat lebih tinggi. Meski demikian Komaidi memberikan catatan, volume konsumsi energi fosil memang akan terus meningkat, tetapi harus diimbangi dengan produksinya. Saat ini rata-rata produksi minyak di dalam negeri di kisaran 600.000 barrel hingga 700.000 barrel minyak per hari, sedangkan konsumsi di 2050 akan mencapai 3,97 juta barrel perhari, jika produksi tidak kunjung naik maka akan ada impor minyak besar-besaran. Tentu akan menjadi beban devisa yang sangat besar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .