JAKARTA. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Nilanto Perbowo, mengatakan untuk dapat bersaing di pasar domestik maupun global, peningkatan nilai tambah di sektor kelautan dan perikanan menjadi suatu kewajiban. Tujuannya adalah agar produk kelautan dan perikanan nasional bisa mempunyai nilai tambah dan kompetitif dengan produk lain. Ia bilang, KKP ingin mengajak para investor agar masuk dalam sektor ini. Pasalnya, orientasi KKP adalah dapat menjadi raja di negeri sendiri, bahkan mampu berkompetisi di pasar global. "Untuk itu kami mengajak investor terutama investor kelas kakap agar masuk di sektor kelautan dan perikanan agar produk kelautan dan perikanan Indonesia mempunyai daya saing dan nilai tambah lebih,” kata Nilanto, Rabu (11/11). Menurut Nilanto, investasi ini bisa masuk di sektor hilir seperti pembangunan fasilitas pendingin (cold storage), pembangunan unit pengolahan ikan dan industri turunan lainnya untuk meningkatkan nilai perikanan Indonesia. Harapannya, setelah proses hilirisasinya dapat berjalan dengan baik, KKP berharap nilai pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat mencapai 7%. "Kami menargetkan seiring dengan proses hillirisasi industri, nilai investasi kelautan dan perikanan pada tahun 2016-2019 bisa meningkat hingga Rp 95 triliun," imbuhnya. Bila investasi ini bisa masuk, maka bukan hanya nelayan dan pembudidaya saja yang diuntungkan, tapi juga akan meningkatkan lapangan kerja. Paling utama adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, dan masyarakat pada umumnya. Nilanto bilang yang terpenting adalah sektor kelautan dan perikanan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian nasional pada umumnya. Kendati begitu, ada juga kendala dalam berinvestasi masih, yakni antara lain permasalahan tata ruang, iklim investasi yang belum sepenuhnya ramah pada calon pemodal, ketiadaan/minimnya insentif daerah, rendahnya kualitas pelayanan usaha di daerah, faktor keamanan dan minimnya sarana dan prasarana pendukung usaha.
KKP dorong investor asing masuk kelautan perikanan
JAKARTA. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Nilanto Perbowo, mengatakan untuk dapat bersaing di pasar domestik maupun global, peningkatan nilai tambah di sektor kelautan dan perikanan menjadi suatu kewajiban. Tujuannya adalah agar produk kelautan dan perikanan nasional bisa mempunyai nilai tambah dan kompetitif dengan produk lain. Ia bilang, KKP ingin mengajak para investor agar masuk dalam sektor ini. Pasalnya, orientasi KKP adalah dapat menjadi raja di negeri sendiri, bahkan mampu berkompetisi di pasar global. "Untuk itu kami mengajak investor terutama investor kelas kakap agar masuk di sektor kelautan dan perikanan agar produk kelautan dan perikanan Indonesia mempunyai daya saing dan nilai tambah lebih,” kata Nilanto, Rabu (11/11). Menurut Nilanto, investasi ini bisa masuk di sektor hilir seperti pembangunan fasilitas pendingin (cold storage), pembangunan unit pengolahan ikan dan industri turunan lainnya untuk meningkatkan nilai perikanan Indonesia. Harapannya, setelah proses hilirisasinya dapat berjalan dengan baik, KKP berharap nilai pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat mencapai 7%. "Kami menargetkan seiring dengan proses hillirisasi industri, nilai investasi kelautan dan perikanan pada tahun 2016-2019 bisa meningkat hingga Rp 95 triliun," imbuhnya. Bila investasi ini bisa masuk, maka bukan hanya nelayan dan pembudidaya saja yang diuntungkan, tapi juga akan meningkatkan lapangan kerja. Paling utama adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, dan masyarakat pada umumnya. Nilanto bilang yang terpenting adalah sektor kelautan dan perikanan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian nasional pada umumnya. Kendati begitu, ada juga kendala dalam berinvestasi masih, yakni antara lain permasalahan tata ruang, iklim investasi yang belum sepenuhnya ramah pada calon pemodal, ketiadaan/minimnya insentif daerah, rendahnya kualitas pelayanan usaha di daerah, faktor keamanan dan minimnya sarana dan prasarana pendukung usaha.