KKP stop pengiriman produk perikanan dari Benjina



JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertindak tegas terhadap PT Pusaka Benjina Resources (PBR) asal Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Sejak diduga terjadinya perbudakan terhadap anak buah kapal asal Myamnar dan Kamboja di PBR, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Pudjiastuti langsung memerintahkan menghentikan sementara pengiriman produk perikanan yang dihasilkan PBR, termasuk larangan ekspor.

Dugaan perbudakan yang terjadi di Benjina, lanjut Susi, bisa berdampak besar bagi produk-produk perikanan asal Indonesia bila pemerintah tidak bertindak cepat dan tegas. Pasalnya, Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) berpotensi memboikot produk-produk perikanan Indonesia. Sebab saat ini, AS telah memboikot produk-produk PBR yang dikirim ke Thailand dan kemudian di ekspor ke AS.

"Saya sudah meminta produk Benjina tidak boleh keluar dulu dari Benjina, agar tidak berdampak kepada pelaku usaha lain," terang Susi akhir pekan lalu.


Bahkan pemerintah AS telah menghentikan sementara produk-produk perikanan asal Thailand sampai menunggu hasil investigasi yang dilakukan Indonesia terhadap PBR. Susi juga menemukan beberapa izin operasional kapal milik PBR terbit pasca berlakunya kebijakan moratorium lewat Peraturan Menteri (Permen) KP No.56 tahun 2014 yang terbit padan 3 November 2014.

Dirjen Perikanan Tangkap, KKP Gellwynn Yusuf menjelaskan, PBR memang memiliki banyak armada kapal. KKP mencatat PBR memiliki 28 kapal ikan dengan nama Antasena. PBR juga memiliki 9 kapal tramper atau pengangkut super besar. Kapal-kapal tersebut memiliki izin yang sah beroperasi berupa dokumen Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). PBR memiliki tiga anak usaha salah satunnya PT Pusaka Benjina Nusantara (PBN). Sama dengan PT PBR, PT PBN memiliki 27 armada kapal tangkap bernama Antasena yang miliki izin operasi yang sah dan legal.

Gellwyn menerangkan, sebanyak 27 kapal itu termasuk kapal ikan asing (KIA) berbendera Thailand dan menggunakan alat tangkap pukat ikan. Operasional wilayah tangkap sebanyak 27 kapal tersebut di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 atau di Laut Aru, Selatan Papua. Ada banyak kapal milik PBR dan anak usahanya memiliki izin operasi yang terbit setelah adanya peraturan moratorium. Terdapat 30 kapal yang mengurus ijin sebelumnya kebijakan moratorium diterbitkan.

Tapi dengan adanya dugaan perbudakan terhadap dan adanya anak ABK asing serta alat tangkap tidak ramah lingkungan, sudah bisa menjadi alasan yang memperkuat KKP menghentikan seluruh operasional kapal PBR dan anak usahanya. Gellwynn mengakui bahwa ia telah menahan banyak kapal milik PBR karena dugaan pelanggaran tersebut.

Selain pelanggaran itu, KKP juga mencurigai PBR melakukan kegiatan transhipment atawa bongkar muat ikan di tengah laut untuk langsung diekspor ke Thailand, tanpa melalui pencatatan di pelabuhan Indonesia. Dari sejumlah informasi yang diperoleh KKP, PBR langsung membawa ikan hasil tangkapannay ke tramper dan langsung di bawa ke Thailand.

Sebenarnya, seluruh operasional kapal tangkap dan kapal angkut milik PBR sah karena izinnya dikeluarkan dari KKP baik itu SIPI maupun SIKPI. KKP juga telah memberikan areal penangkapan kepada PBR dan selama ini. Secara normal, PBR juga patuh membawa ikan tangkapannya ke darat, dan memiliki lemari pendiingan atau cold storage dan kemudian diekspor ke Thailand. Kendati KKP juga menaruh curiga, PBR melakukan transhipment secara diam-diam.

KONTAN belum berhasil menghubungi PBR. Namun berdasarkan pernyataan Site Operational Departement Head PT PBR Hermanwir Martino di sejumlah media, PBR membantah adanya isu perbudakan tersebut. Ia mengatakan berita perbudakan yang diekspor Associated Press (AP) tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto