KLHK: IPPKH pertambangan di Kalimantan Selatan mencapai 55.078 hektare



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, luas total kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan kurang lebih 1.664.000 haketar (ha), sekitar lebih 950.800 ha diantaranya merupakan kawasan hutan lindung dan produksi. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan guna mendukung pembangunan dilakukan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

KLHK mengatakan, data IPPKH aktif di Provinsi Kalsel sampai dengan tahun 2020 ada sebanyak 93 unit dengan luas kurang lebih 56.243 ha (5,92 % dari luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi). Terdiri dari IPPKH Non Tambang (pembangunan jalan umum, jalan tol, dan jaringan komunikasi) sebanyak 6 unit dengan luas kurang lebih 1.165 ha dan IPPKH pertambangan (Batubara, Bijih Besi dan Galian C) sebanyak 87 unit seluas kurang lebih 55.078 ha (5,79 % dari luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi).

“Dari 87 unit IPPKH Pertambangan eksisting di Kalsel, sejumlah 55 unit IPPKH dengan luas kurang lebih 43.744 ha, terbit sebelum 20 Oktober 2014 (30 unit IPPKH seluas 19.209 ha telah dilakukan perpanjangan atau revisi IPPKH). Sementara IPPKH yang terbit setelah tanggal 20 Oktober 2014 sampai dengan tahun 2020 adalah sebanyak 32 unit, dengan luas kurang lebih 11.334 ha,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Nunu Anugrah dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Minggu (24/1).


Berdasarkan data penutupan lahan KLHK tahun 2019, dari total IPPKH pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan seluas kurang lebih 55.078 ha, yang terindikasi telah beraktivitas di lapangan adalah seluas kurang lebih 30.841 ha. Luas bukaan tambang pada areal IPPKH tersebut lebih kecil jika dibandingkan bukaan tambang di luar kawasan hutan (APL) seluas kurang lebih 53.456 ha.

Baca Juga: ​Hubungan La Nina dengan bencana banjir di Indonesia

KLHK menyebut, permohonan penggunaan kawasan hutan wajib dilengkapi dengan rekomendasi gubernur dan dokumen lingkungan, serta yang tidak kalah penting adalah mempunyai izin sektor yang masih berlaku.

“Dalam hal ini, izin sektor tambang (IUP/ PKP2B/KK) merupakan kewenangan Kementerian ESDM dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan pertambangan tidak sepenuhnya dilakukan oleh KLHK,” terang dia.

KLHK menyebutkan, dalam hal penerbitan perpanjangan IPPKH, permohonan perpanjangan IPPKH wajib dilengkapi dengan izin sektor yang masih berlaku, Dokumen lingkungan, citra satelit dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan melibatkan BPKH, Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, BPDAS dan BPHP. Dokumen-dokumen tersebut menjadi bahan penelaahan dan pertimbangan Menteri dalam memberikan atau menolak permohonan perpanjangan IPPKH.

KLHK menilai adanya polemik tentang analisis banjir Kalimantan Selatan dapat dipahami, karena ada keinginan secara cepat mencari sebab dan untuk segera mengatasinya. Pragmatisme itu terjadi di tengah kemelut bencana banjir besar dan luas dengan korban ratusan ribu orang yang harus mengungsi.

Bagi pemerintah, tidak mudah asal menunjuk, tanpa mempelajari sebab–akibat atau hubungan kasualitas yang dilandasi oleh pengetahuan selain fakta-fakta lapangan diantara peran Kementerian dan Lembaga. Oleh karena itu, KLHK melakukan kajian khususnya dengan lokus DAS Barito di Kalimantan Selatan.

KLHK mengklaim, banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrem, dan kemungkinan dengan recurrent atau berulang periode 50 tahun hingga 100 tahun. Apalagi saat analisis per tanggal 18 Januari, tentu masih dimensi landscape dan rainfall yang masih harus dilihat. Tentu saja ada aspek lain seperti sistem drainase wilayah, tutupan lahan, dan menyusur lagi soal perizinan. Semua harus secara sistematis diidentifikasi dan didalami.

KLHK menyatakan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dengan luas total kurang lebih 6,2 juta ha, merupakan DAS lintas provinsi, meliputi Provinsi Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 4,4 juta ha, Provinsi Kalimantan Timur seluas kurang lebih 8.000 ha, Provinsi Kalimantan Barat seluas kurang lebih 590 ha, dan di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri seluas kurang lebih 1,8 juta ha atau setara 29%.

KLHK melakukan telaah terhadap perubahan tutupan hutan secara seri, dengan menggunakan matriks transisi perubahan tutupan lahan, khusus untuk wilayah DAS Barito di Provinsi Kalimantan Selatan. Metode telaahan memenuhi kaidah land degdaration neutrality untuk menilai perubahan tutupan lahan termasuk kategori improve, stable atau degraded. Hal ini berguna dalam menentukan target penambahan tutupan lahan tiap tahunnya.

Data menunjukkan pada tutupan lahan (land cover) DAS Barito Kalsel terjadi penurunan tutupan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman. Sebaliknya, terdapat kenaikan areal perkebunan, sawah, pertambangan dan pemukiman. Perubahan perkebunan dan pertambangan terjadi dari waktu ke waktu.

Sebagai informasi, periode tahun 2000-2006, perkebunan 31.629 ha (dari 25.796 ha) dan pertambangan 18.100 ha (dari 7.966 ha). Tahun 2006-2011, perkebunan 39.481 ha (dari 30.545 ha) dan pertambangan 20.625 ha (dari 18.100 ha), dan tahun 2011-2015, perkebunan 180.566 ha (dari 38.451 ha) dan pertambangan 26.180 ha (dari 19.592 ha).

Pada periode tahun 2015-2019, luas perkebunan 236.917 ha (dari 169.137 ha) dan pertambangan 37.224 ha (dari 23.185 ha). Perubahan dalam pertambangan berasal dari pertanian lahan kering campuran seluas 5.524 ha dan dari lahan terbuka seluas 2.342 ha.

Gambaran tersebut menunjukkan dinamika perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Barito Kalsel secara keseluruhan. DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3% kawasan hutan dan 60,7% areal penggunaan lain (APL) bukan hutan.

Selanjutnya: Arutmin sebut pembukaan lahan besar-besaran dapat menjadi penyebab banjir di Kalsel

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat