KLHK menang, Riau Andalan ajukan upaya hukum



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) akan mengajukan upaya hukum atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu menyusul, majelis hakim yang tidak menerima permohonan fiktif positif yang diajukan RAPP terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kuasa hukum RAPP Hamdan Zoelva mengatakan, upaya hukum yang akan diajukan itu adalah peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. "Karena putusan ini sudah bersifat final, kami ingin menguji kembali apakah benar pendapat hakim," ungkapnya usai persidangan di Gedung PTUN, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (21/12). Sebab, pihaknya masih bersikukuh pertimbangan majelis hakim tersebut tidak tepat. Sekadar tahu saja, dalam sidang yang diketuai hakim Oenoen Pratiwi itu, majelis menilai gugatan RAPP tersebut tidak memenuhi syarat formalitas permohonan fiktif positif berdasarkan pasal 53 UU Administrasi Pemerintah (UUAP).

Dalam pasal tersebut dikatakan, gugatan fiktif positif hanya bisa diajukan untuk permohonan baru, bukan untuk pencabutan permohonan. Hal tersebut juga sesuai dengan keterangan saksi ahli administrasi negara dari Universitas Borobudur Jakarta Zudhan Arif Fakhrukloh di persidangan.


Kendati begitu, Hamdan bersikukuh baik permohonan baru ataupun permohonan pencabutan merupakan hal yang sama dan dapat diadili berdasarkan Pasal 53 UUAP. "Ini persoalannya sederhana, karena tidak dijawab dalam waktu 10 hari maka kami menganggap itu dikabulkan dan tidak masuk dalam ruang lingkup tata usaha negara biasa," jelasnya.

Adapun, permohonan ini dilakukan karena RAPP keberatan mengenai SK 5322 yang dikeluarkan KLHK tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) periode 2010-2019. SK berisikan Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No SK.93/VI BHUT/2013 tentang Persetujuan Revisi RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) periode 2010-2019 atas nama PT RAPP yang diterima perusahaan 18 Oktober 2017.

RAPP menganggap keberatan atas pembatalan RKU itu tidak ditanggapi Menteri LHK Siti Nurbaya dalam waktu 10 hari sejak SK diterima, sehingga dianggap bertentangan dengan Undang-undang No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini