KLHK menepis stigma negatif pada tanaman sawit



JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim perkebunan kelapa sawit di Indonesia ramah lingkungan. Karena itu, KLHK membantah stigma negatif tersebut dan menyebut itu sebagai informasi yang salah dan tidak memiliki dasar penelitian yang ilmiah.

Pemerintah menilai, justru tanaman sawit lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jenis tanaman hutan. Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bedjo Santoso mencontohkan, dari sisi penyerapan air, sawit justru lebih efisien.

Dalam setahun, sawit menyerap air sebanyak 1.104 milimeter, lebih sedikit jika dibandingkan tanaman sengon (1.355), jati (1.300), mahoni (1.500), maupun pinus (1.975). Sementara itu dari sisi penyerapan karbondioksida (CO2), sawit justru lebih banyak menyerap CO2 jika dibandingkan dengan empat tanaman hutan tersebut.


Menurut data yang dimilikinya, tiap hamparan sawit seluas 1 hektare (ha) mampu menyerap CO2 sebanyak 36 ton. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman sengon yang hanya mampu menyerap CO2 sekitar 18 ton, jati (21 ton), mahoni (25 ton), dan pinus (20 ton).

“Angka-angka tersebut merupakan fakta penelitian yang dilakukan oleh ahli di bidangnya. Ini bukan ngarang. Jadi di mana letak sawit tidak ramah lingkungan?” kata Bedjo, Kamis (13/4).

Menurut Bedjo, informasi yang menyesatkan tersebut berasal dari pesanan negara barat yang tujuannya melindungi komoditasnya, baik itu tanaman rapeseed, sun flower (bunga matahari), maupun soyben (kedelai). “Padahal justru tanaman sawit justru lebih efisien menggunakan lahan jika dibandingkan dengan tanaman rapeseed, bunga matahari, maupun kedelai itu. Perbandingannya sekitar 1 berbanding 10,” kata Bedjo.

Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan Mukti Sardjono mengatakan, rata-rata produktivitas sawit saat ini tiap tahunnnya sekitar 4,27 ton per hektare (ha) dengan total lahan di seluruh dunia baru sekitar 20,23 juta ha. Sementara itu tanaman rapeseed yang menjadi andalan para petani di Eropa produktifitasnya tiap tahunnya hanya 0,69 ton per ha dan telah menggunakan lahan seluas 33,66 juta ha.

Tanaman kedelai yang banyak ditanam di Amerika Utara dan Kanada hingga saat ini telah menggunakan lahan seluas 121,99 juta ha dan produktifitasnya tiap tahun hanya 0,45 ton per ha. Untuk bunga matahari yang juga banyak ditanam di Eropa produktifitasnya hanya 0,52 ton per ha dan hingga 2016 telah menggunakan lahan seluas 24,69 juta ha. “Ini artinya apa, tanaman sawit jauh lebih efisien,” kata Mukti Sardjono yang mantan Sesditjen Perkebunan ini.

Selain itu, produktivitas minyak sawit per ha lahan jauh lebih tinggi (8-10 kali lipat) dari produktifitas minyak nabati lainnya. Jadi, kata Mukti Sardjono, salah besar apabila Parlemen Eropa dalam resolusinya merekomendasikan tanaman sawit di Indonesia diganti dengan rapeseed dan sun flower.

Apabila itu dilakukan, kata dia, bisa dipastikan perambahan hutan semakin massif.  Sebab jelas dibutuhkan lahan yang lebih luas. Selain itu juga karena kedua tanaman tersebut kurang cocok ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. “Jadi resolusi Parlemen Eropa itu mengada-ada. Jelas sekali kalau itu hanya untuk melindungi komoditasnya yang kalah bersaing dengan minyak sawit,” kata Mukti.

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, selama 20 tahun terdapat 239 juta ha lahan yang mengalami deforestasi global.

Dari jumlah tersebut, sekitar 58 juta ha terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta ha akibat penanaman kedelai, 8 juta ha akibat penanaman jagung, dan hanya 6 juta hektar untuk perkebunan sawit.

Artinya, industri sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih 2,5% dari total deforestasi global. Selain itu, industri minyak sawit merupakan bagian dari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi terhadap pemenuhan permintaan biofuel dunia, sebagai pengganti bahan bakar fosil. “Artinya, minyak sawit itu sangat peduli lingkungan,” tegas Dodik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini