KLHK Sebut Ibu Kota Negara Baru Bukan Kantong Sebaran Orangutan



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno mengatakan, Pusat Ibu Kota Negara (IKN) bukanlah merupakan daerah sebaran alami orangutan.

Ia menyebut, wilayah pusat Ibukota Negara (IKN) berada di bekas kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang bukan merupakan hutan primer lagi.

Pemerintah telah melakukan langkah-langkah antisipatif guna mengurangi dampak yang terjadi dalam pembangunan IKN seperti AMDAL, KLHS, koridor, dan sebagainya.


Wiratno menerangkan, Peta Sebaran orangutan di wilayah IKN, berdasarkan PHVA (2016) populasi orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) terbagi ke dalam 17 landsekap.

Baca Juga: Presiden Pastikan Kepala Otorita IKN dari Non Parpol

Yaitu Lansekap Beratus, Sungai Wain, TN Kutai - Bontang, Belayan – Senyiur, Wehea – Lesan, Sangkulirang, Tabin, Area Hutan Tengah, Kinabatangan Rendah, Kinabatangan Utara, Ulu Kalumpang, Crocker, Lingkabau, Bonggaya, Ulu Tungud, Trus madi, Sepilok, dengan total jumlah orangutan sebanyak 14.540.

"Orangutan terdekat dengan IKN hanya di lansekap Sungai Wain. Orangutan yang terdapat di areal Sungai Wain adalah orangutan hasil rehabiltasi," ungkap Wiratno dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/2).

Jumlah orangutan yang sudah dirilis dari ketiga Pusat Rehabilitasi yaitu Samboja (BOSF), Jejak Pulang dan Pusat Suaka orangutan Arsari Itciku adalah sebagai berikut.

Baca Juga: Sepanjang Januari 2022, Acset Indonusa (ACST) Raih Kontrak Baru Rp 2 Miliar

Pertama, Sungai Wain: (tahun 1992-1997) sejumlah 78 orangutan. Kedua Meratus: (tahun 1997-2002) sejumlah 338 orangutan. Ketiga, KJ7: (tahun 2012-2021) sejumlah 126 orangutan. Tempat pelepasliaran ini berada di zona luar pembangunan IKN.

Untuk antisipasi agar orangutan tidak ke zona IKN, dilakukan upaya antisipatif bersama dengan para pihak antara lain membangun koridor satwa liar, memulihkan ekosistem untuk memperbanyak cluster habitat satwa, terutama di bekas tambang, dan melakukan mobilisasi Wildlife Respon Unit (WRU).

Editor: Noverius Laoli