KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI menunjukkan kesiapannya sebagai lembaga kliring untuk perdagangan karbon di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi
blockchain pada ekosistem perdagangan karbon. Direktur Utama KBI Fajar Wibhiyadi mengatakan, pemanfaatan teknologi tersebut akan dapat memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon. Tak hanya, hal tersebut juga akan memastikan tidak terjadinya
double accounting dalam proses pencatatannya. “KBI sebelumnya telah memanfaatkan teknologi
blockchain dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang. Manfaat penggunaan teknologi ini sudah dirasakan oleh para stakeholder di dalam ekosistem resi gudang,” kata Fajar dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (12/8).
Sementara itu,
Head Ecoframework Dept PT Sucofindo Budi Utomo menyebutkan, keberadaan lembaga kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon.
Baca Juga: Dampak langsung rencana CBAM Uni Eropa ke produk ekspor RI relatif terbatas Lembaga kliring yang memiliki teknologi yang berbasis
blockchain, akan mampu memberikan keamanan bertransaksi serta menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku. Selain itu, lembaga kliring yang mengadopsi teknologi ini dianggap mampu mendukung konsistensi dalam menerapkan prinsip
clarity, transparency dan
understanding (CTU) dalam
registry karbon sehingga mampu mengeliminasi
double accounting atau
double claim. Peran sebagai lembaga kliring bukan merupakan hal baru bagi KBI mengingat sebelumnya BUMN ini telah berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian transaksi di Perdagangan Berjangka Komoditi serta Lembaga Kliring di Pasar Fisik Komoditas di Bursa Berjangka Jakarta. Perdagangan komoditas karbon sendiri merupakan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon. Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan transaksi di perdagangan komoditas yang ada saat ini, yang berbeda adalah komoditasnya, yaitu emisi karbon. Adapun emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrat Oksida (N2O), Hidroflurokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) serta Sulfur Heksafluorida (SF6). Dalam perdagangannya, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan 1 ton karbon dioksida. Di Indonesia, implementasi
crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.
Baca Juga: Laba Kliring Berjangka Indonesia melonjak 40% di semester pertama 2021 Sebagai negara pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29% dari skenario emisi Gas Rumah Kaca secara Business as Usual (BAU), dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e. “Sebagai BUMN, tentunya kami bisa memastikan bahwa proses kegiatan kliring yang berjalan telah sesuai dengan regulasi yang ada. Selain itu, dalam hal pengembangan teknologi, ke depan kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring tersebut,” pungkas Fajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari