Koalisi Masyarakat Sipil Dorong Komnas HAM Tolak Revisi UU TNI - Polri



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Koalisi Masyarakat Sipil mendorong Komnas HAM untuk memberhentikan rencana revisi Undang-Undang (UU) TNI dan UU Polri. Pasalnya, pembentukan kedua revisi UU tersebut dinilai tak transparan.

Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana mengatakan pihaknya mendorong Komnas HAM untuk ambil sikap terkait munculnya revisi UU TNI dan UU Polri yang bakal dibahas DPR dan Pemerintah.

“Pembahasan rancangan undang-undang dua lembaga penting negara ini sangat tertutup, terburu-buru dan tidak demokratis. Jadi secara prosedural ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan ketentuan pembentukan peraturan perundang undangan yang baik,” ujarnya saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (7/8).


Baca Juga: Baleg DPR Bakal Tunda Revisi UU TNI dan Polri Hingga Pemerintahan Prabowo-Gibran

Arif menjelaskan, substansi revisi UU ini berbahaya untuk keberlangsungan demokrasi dan kedua baleid tersebut bahkan dinilai seolah kembali ke masa orde baru. Untuk itu, pihaknya mendesak Komnas HAM untuk bersikap dan menolak hal tersebut agar tak dibahas di DPR.

“Kita tahu Presiden dan DPR sudah di masa masa kadaluarsa, mereka juga sudah mau berakhir masa jabatannya tapi masih mau membahas dua RUU yang sangat strategis bagi masa depan bangsa ini. Saya kira harus disetop,” jelas dia.

Arif mengungkapkan, revisi UU TNI dan Polri tak sesuai prosedur di mana ini langsung dilakukan pembahasan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM. Selain itu, undangan untuk pembahasannya pun tak melibatkan masyarakat.

“Tidak boleh seperti itu, ini tidak demokratis, ini tidak sesuai dengan prinsip pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana undang-undang nomor 12 tahun 2012,” ungkap dia.

Baca Juga: Inilah Gaji PNS, TNI & Polisi Tahun 2024, Tahun Depan Akan Naik, InI Bocorannya

Asal tahu saja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melayangkan surat presiden (Surpres) ke DPR untuk membahas revisi UU kedua instansi strategis Indonesia.

Namun, Arif menyoroti, Surpres tersebut telah diterima DPR tetapi tidak memiliki Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Menurutnya, Surpres perlu dibarengi dengan DIM. “Artinya rancangan undang-undang ini bermasalah sejak awal,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli