Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Penundaan Kebijakan EUDR



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Juru kampanye senior dari Kaoem Telapak, Denny Bhatara menyayangkan adanya penundaan penerapan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang semula dijadwalkan berlaku pada 30 Desember 2024. 

Dalam diskusi yang melibatkan 45 organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, Denny menekankan bahwa penundaan ini berpotensi menghambat upaya perbaikan tata kelola komoditas di Indonesia yang telah berjalan dengan baik selama ini.

Denny menjelaskan bahwa regulasi EUDR mengatur beberapa komoditas yang berpotensi berkontribusi besar terhadap deforestasi dan degradasi hutan, seperti kelapa sawit, karet, coklat, kopi, dan kayu. Namun, ia menyoroti kesiapan sektor komoditas di Indonesia yang berbeda-beda dalam menghadapi EUDR. 


Di antara lima komoditas yang terdampak, sektor kayu dianggap paling siap, karena sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sudah berjalan dan diakui secara internasional.

"Sistem ini telah diterapkan secara mandatori sejak 2016, memberikan jaminan legalitas serta keterlacakan produk kayu yang dianggap sah di pasar global, terutama Eropa," kata Denny dalam acara diskusi di Baca Tebet, Senin (7/10).

Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Mebel dan Kerajinan Hadapi Kebijakan EUDR

Namun, komoditas lainnya, seperti kelapa sawit, meski memiliki sistem tata kelola melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), masih perlu penguatan, terutama dalam aspek transparansi dan penegakan hukum. Sementara itu, komoditas seperti kakao, kopi, dan karet dinilai memiliki tantangan yang lebih besar dalam kesiapan menghadapi regulasi EUDR karena belum adanya sistem pengaturan nasional yang sekuat di sektor kayu.

Penundaan kebijakan EUDR ini juga dikhawatirkan dapat mengurangi momentum perbaikan yang telah dilakukan di sektor-sektor tersebut. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mengusulkan agar pemerintah menggunakan penundaan ini sebagai kesempatan untuk memperkuat tata kelola komoditas, termasuk memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta mengembangkan dukungan bagi petani kecil agar mereka dapat memenuhi persyaratan EUDR.

Denny juga menekankan bahwa penerapan EUDR harus dilihat sebagai peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola komoditas secara menyeluruh. Selain akan membantu Indonesia dalam memenuhi persyaratan pasar global yang semakin ketat, perbaikan ini juga akan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional, melindungi lingkungan melalui pengurangan deforestasi, dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil serta komunitas lokal. 

Meskipun pemerintah Uni Eropa mempertimbangkan penundaan EUDR, koalisi berharap keputusan ini tidak mengurangi semangat perbaikan tata kelola yang telah berjalan di Indonesia. Sebaliknya, mereka mendesak pemerintah untuk mengambil peran aktif dalam mempersiapkan semua sektor agar dapat mematuhi regulasi tersebut dan memastikan Indonesia tetap kompetitif di pasar global yang semakin ketat.

Koalisi juga mengharapkan pemerintah untuk memegang peran sentral dalam menavigasi implementasi EUDR, termasuk memperkuat koordinasi antara kementerian dan lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk menciptakan kebijakan yang koheren. "Keterlibatan aktif dari Masyarakat Adat dan masyarakat lokal juga harus menjadi prioritas, terutama melalui penegakan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC)," pungkasnya.

Baca Juga: Respons Serikat Petani Sawit Terkait Penundaan Kebijakan EUDR

Selanjutnya: Menkumham Akan Komunikasikan Isu Kenaikan Gaji Hakim dengan Kemenkeu

Menarik Dibaca: Tips Mengubah Tampilan MacBook Seperti Laptop Biasa, Tanpa Instal Windows

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati