KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari WALHI, Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia (FWI), WALHI Kalimantan Timur, dan AMAN Kalimantan Timur, menolak rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.355 hektare di Kalimantan Timur melalui revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW). Penolakan ini didasarkan pada analisa yang telah dilakukan, bahwa di atas kawasan hutan yang akan dilepaskan telah dibebani oleh 156 izin konsesi perusahaan. Terdiri dari sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu. “Jika melihat tutupan hutan yang ada, 56% dari kawasan hutan yang akan dilepaskan masih berupa hutan alam. Tentu hal ini kontradiktif dengan komitmen iklim Indonesia,” ujar Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan resminya, Jumat (7/7).
Baca Juga: Kemenhub akan Bangun Infrastruktur Transportasi Darat dan Studi Jalur KA di IKN Dari 156 izin konsesi perusahaan tersebut, seluas 138.021 hektar yang masuk dalam usulan pelepasan adalah lahan dengan izin IUPHHK-HT (saat ini PBPH-HT). Total korporasi yang terdeteksi dalam kawasan tersebut sejumlah 39 perusahaan. Sebesar 98% dari total luasan tersebut berupa pelepasan Kawasan hutan. Selain itu, seluas 25.684 hektare masih berupa tutupan hutan alam. Seluas 164.429 hektare telah dibebani oleh 101 IUP Pertambangan. Lebih rinci, 106.782 hektar (65%) diusulkan untuk pelepasan status kawasan hutan dan 56.395 hektare (34%) merupakan penurunan status kawasan dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas. Seluas 100.323 hektare masih berupa tutupan hutan alam. Selain itu, 3.824 hektare telah dibebani oleh 16 izin perkebunan kelapa sawit dan seluruhnya berupa penurunan status Kawasan hutan menjadi APL. Secara total, seluas 736.055 hektare hutan yang akan diubah fungsi dan peruntukannya dengan rincian: 83,19% atau setara 612.355 hektare akan mengalami pelepasan kawasan hutan, 13,83% atau setara 101.788 hektare akan mengalami penurunan status kawasan hutan, dan hanya 2,7% atau setara 19.858 hektare yang mengalami peningkatan status kawasan hutan, serta 0,28% atau setara 2.054 hektare tidak mengalami perubahan status. “Analisa di atas menunjukan bahwa revisi RTRW Kalimantan Timur saat ini syarat akan kepentingan korporasi, sedangkan kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber-sumber agrarianya justru diabaikan,” ucap Koalisi Masyarakat Sipil. Pengabaian ini tentunya akan memperpanjang malapetaka krisis agraria di Kalimantan Timur. Selama 5 tahun terakhir, terdapat 40 letusan konflik agraria di Kalimantan Timur, dimana berkontribusi sebagai 5 besar penyumbang letusan konflik agraria (2021) dan luasan konflik agraria (2019) (Catahu KPA 2018-2022). Sebab, konflik agraria telah menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan dan semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan. Rencana yang anti Reforma Agraria ini semakin menegaskan diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Adapun Penguasaan tanah petani kecil (> 0,5 hektar-2,9 hektar) hanya berjumlah kurang lebih 180 ribu hektar, yang berbanding terbalik dengan penguasaan perusahaan dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar (Sensus Pertanian 2018).
Baca Juga: Berikut Tantangan Implementasi Ekonomi Biru di Indonesia Artinya tingkat guremisasi atau ketimpangan penguasaan tanah di Kaltim sudah mencapai level kronis. Belum lagi 8 tahun lebih, janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan/atau perubahan kawasan hutan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat tidak ada kejelasan dan gagal. Pemerintah justru semakin membuka peluang letusan konflik dan jurang ketimpangan penguasaan tanah yang semakin memiskinkan masyarakat. Pelepasan dan penurunan status kawasan hutan melalui revisi RTRW ini juga akan mempercepat kepunahan spesies kunci Orang Utan dan Badak Kalimantan. Seluas 467.792 hektare (64%) adalah habitat orang utan yang turut diusulkan dalam pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. Dengan rincian seluas 361.839 hektare diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan dan 101.788 hektare diusulkan untuk penurunan status kawasan hutan. Padahal seluas 78.507 hektare masih berupa tutupan hutan alam. Melalui analisa lebih lanjut, seluas 233.517 hektare adalah pelepasan kawasan hutan telah dibebani izin PBPH-HT dan IUP Tambang. Terdapat habitat badak seluas 78.712 hektare yang masuk dalam objek revisi RTRW Kaltim. Seluas 77.806 hektare diantaranya yang masih bertutupan hutan alam diusulkan untuk penurunan status kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Melalui analisa lebih lanjut, seluas 51.057 hektare telah dibebani izin 5 perusahaan tambang yaitu PT Ratah Coal, PT Pari Coal, PT Maruwai Coal, PT Lahai Coal dan PT Energi Persada Khatulistiwa. Seluruh habitat badak yang di interseksi dengan perusahaan tersebut merupakan 100% hutan alam. Fakta-fakta diatas memperkuat temuan masyarakat sipil selama ini, bahwa revisi RTRW merupakan modus kejahatan, sebab mengakomodasi pengampunan kejahatan kehutanan dan pelanggaran tata ruang yang telah dilakukan oleh korporasi. Revisi RTRW dengan mengakomodasi kejahatan hutan dan pelanggaran ruang sebagaimana yang terjadi saat ini pun sangat rentan dengan praktik korupsi. Koalisi telah menyampaikan fakta-fakta diatas ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 5 Juli 2023 dan turut meminta KPK untuk memantau proses pelepasan kawasan hutan Kalimantan Timur.
Baca Juga: Jutaan Hektare Kebun Sawit di Kawasan Hutan Bakal Legal Atas dasar itu WALHI, Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia (FWI), WALHI Kalimantan Timur, dan AMAN Kalimantan Timur yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau mendesak agar Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur untuk menghentikan sementara proses revisi perda RTRW dan membuka ruang keterbukaan serta partisipasi kepada masyarakat sipil.
Koalisi juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak menerbitkan izin usaha dan melakukan penegakan hukum pada perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal. KLHK juga diminta untuk menyelesaikan konflik agraria dalam kawasan hutan, redistribusi untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat yang menguasai tanah dalam kawasan hutan. “(Mendesak) Tim Terpadu yang dibentuk oleh KLHK untuk membuka ruang dialog terhadap temuan dari masyarakat sipil dan membuka hasil penilaian dari penelitian perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan,” pungkas Koalisi Masyarakat Sipil. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi