KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham domestik dan global masih diwarnai sejumlah sentimen negatif, salah satunya krisis akibat perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut. Di sisi lain, situasi Covid-19 yang berujung pada penguncian wilayah atau
lockdown di China masih belum memiliki akhir yang jelas. Namun,
Chief Investment Officer DBS Bank Hou Wey Fook menyebut, sentimen tersebut telah diperhitungkan secara substansial (
priced-in) oleh pasar. Memasuki kuartal ketiga, Fook menyebut, tantangan utama yang dihadapi pasar global adalah tingkat inflasi yang melonjak. Ditambah, sikap bank sentral global khususnya Amerika Serikat (AS) yakni Federal Reserve (The Fed) yang cenderung
hawkish.
Selain kenaikan inflasi yang berakibat pada pengetatan kebijakan moneter, para pelaku pasar juga mulai melihat penurunan kenaikan pendapatan di sejumlah perusahaan. Sementara itu, pasar saham Indonesia memang masih mendapat dampak sentimen positif dari fenomena booming komoditas. Namun, sebagai pasar negara berkembang atau
emerging market, Indonesia juga sangat bergantung dengan aliran dana asing.
Baca Juga: IHSG Turun ke 6.691,61 di Perdagangan Pagi Ini, Sektor Transportasi Jadi Pemberat Di sisi lain, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menahan suku bunga pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu, membuat
spread antara AS dengan Indonesia menjadi lebih sempit. Nah, karena hal ini, DBS Bank lebih memilih pasar Thailand daripada Indonesia. Selain memiliki kebijakan moneter yang lebih terbuka, Thailand saat ini sedang menggencarkan
re-opening ekonominya. Atur portofolio Di tengah gejolak pasar saham, investor diimbau untuk tepat dalam menyusun portofolionya. Menurut
Head of Research Reliance Sekuritas Alwin Rusli, lebih tepat apabila para investor memegang
cash dibandingkan menginvestasikan dana mereka di saham. Dia menyarankan, sebanyak 20%
cash untuk dana darurat dan sebanyak 70% dimasukkan ke deposito atau reksadana pasar uang yang memiliki risiko minim. “Sisanya dapat dialokasikan ke dalam instrumen yang punya volatilitas lebih tinggi seperti emas, atau mata uang dolar AS itu sendiri,” terang Alwin kepada Kontan.co.id, Selasa (5/7). Menurut Alwin, apabila selama bulan Juli 2022 ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat bertahan di atas 6.700, maka rentang pergerakan selama kuartal ketiga akan berada di antara 6.700 – 6.990. Proyeksi ini cukup tinggi dari level sekarang. Sebab, diperkirakan kinerja emiten di kuartal kedua akan pulih dibandingkan dengan kinerja kuartal kedua pada tahun 2021 yang masih dipengaruhi oleh efek pandemi.
Baca Juga: Tembus Rp 15.000, Rupiah Berpotensi Menuju Rp 15.500 Per Dolar AS di Akhir Tahun 2022 Sementara kepala Riset Aldiracita Sekuritas Agus Pramono menilai, alokasi aset saat ini tergantung dari
risk profile masing investor. Tetapi memang saat ini portfolio yang lebih defensif dinilai akan lebih baik. “Memang memegang
cash lebih aman. Namun tidak bisa lama, karena kalau kas deposito paling hanya
return 3%, sementara inflasi saja sudah 4,5%,” terang Agus, Selasa (5/7). Dia menyarankan, investor memilih saham defensif dalam portfolio, dengan sektor komoditas,
consumer staple, energi, sebagai bobot utama. Dalam hal ini, PT Bank Tabungan Negara Tbk (
BBTN), PT Japfa Confeed Indonesia Tbk (
JPFA), PT Vale Indonesia Tbk (
INCO), PT Bukit Asam Tbk (
PTBA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI), dan PT Telkom Indonesia Tbk (
TLKM) menjadi saham pilihan utama Aldiracita Sekuritas. Sementara menurut Alwin, beberapa sektor saham yang masih dapat diperhatikan yaitu sektor tambang dan energi, disusul sektor komoditas lainnya yang terpengaruh langsung dengan harga komoditas.
Dus, dengan kenaikan harga komoditas akan dapat mendorong harga sahamnya. Beberapa contoh diantaranya yaitu saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO), INCO, dan PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari