JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memungut Dana Ketahanan Energi per 5 Januari 2016 seiring dengan pemberlakuan harga baru bahan bakar minyak (BBM) menuai polemik. Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menuturkan, boleh-boleh saja pemerintah meminta "sumbangan" dari masyarakat untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Asal, "sumbangan" dari masyarakat itu bukan menjadi sumber pendanaan yang utama. “Kalau pengembangan EBT tidak dianggarkan di APBN berarti pemerintah curang. Artinya, pemerintah sendiri tidak mau mengalokasikan. Kok semua program EBT itu harus didanai masyarakat?” kata Enny kepada Kompas.com, Jakarta, Minggu (27/12). Dia mengatakan, memang pengembangan EBT merupakan suatu keharusan. Maka dari itu, diharapkan pemerintah memberikan porsi yang prioritas dalam kebijakan anggaran yang disusun dalam APBN. Sebab, kata Enny, jika tidak ada alokasi khusus untuk pengembangan EBT di APBN, maka pencapaian target pembangunan EBT akan berjalan lamban. “Kalau hanya dari Dana Ketahanan Energi, berarti pemerintah hanya mengandalkan sumbangan dari masyarakat. Mestinya dana masyarakat itu enggak apa-apa buat tambahan. Tapi, jangan yang utama. Kalau (dana masyarakat) jadi yang utama, kapan nyampainya (target EBT)?” sambung Enny. Enny berharap, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bisa menyusun program-program pengembangan EBT yang jelas, dan mengusulkan anggarannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN P) 2016. “Ya tetap harus diusulkan, ini (Dana Ketahanan Energi) namanya cuma tambahan. Sumbangan itu sifatnya tambahan. Kan curang kalau masyarakat suruh nyumbang sementara pemerintahnya sendiri tidak mengalokasikan,” kata Enny. Usulan anggaran sebesar Rp 10 triliun untuk pengembangan EBT dalam APBN 2016 tidak direstui seluruhnya lewat pos Kementerian ESDM. Meski begitu, Menteri ESDM Sudirman Said berjanji akan mengakomodasi kebutuhan pengembangan EBT dengan cara berbeda. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kok program EBT harus didanai masyarakat?
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memungut Dana Ketahanan Energi per 5 Januari 2016 seiring dengan pemberlakuan harga baru bahan bakar minyak (BBM) menuai polemik. Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menuturkan, boleh-boleh saja pemerintah meminta "sumbangan" dari masyarakat untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Asal, "sumbangan" dari masyarakat itu bukan menjadi sumber pendanaan yang utama. “Kalau pengembangan EBT tidak dianggarkan di APBN berarti pemerintah curang. Artinya, pemerintah sendiri tidak mau mengalokasikan. Kok semua program EBT itu harus didanai masyarakat?” kata Enny kepada Kompas.com, Jakarta, Minggu (27/12). Dia mengatakan, memang pengembangan EBT merupakan suatu keharusan. Maka dari itu, diharapkan pemerintah memberikan porsi yang prioritas dalam kebijakan anggaran yang disusun dalam APBN. Sebab, kata Enny, jika tidak ada alokasi khusus untuk pengembangan EBT di APBN, maka pencapaian target pembangunan EBT akan berjalan lamban. “Kalau hanya dari Dana Ketahanan Energi, berarti pemerintah hanya mengandalkan sumbangan dari masyarakat. Mestinya dana masyarakat itu enggak apa-apa buat tambahan. Tapi, jangan yang utama. Kalau (dana masyarakat) jadi yang utama, kapan nyampainya (target EBT)?” sambung Enny. Enny berharap, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bisa menyusun program-program pengembangan EBT yang jelas, dan mengusulkan anggarannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN P) 2016. “Ya tetap harus diusulkan, ini (Dana Ketahanan Energi) namanya cuma tambahan. Sumbangan itu sifatnya tambahan. Kan curang kalau masyarakat suruh nyumbang sementara pemerintahnya sendiri tidak mengalokasikan,” kata Enny. Usulan anggaran sebesar Rp 10 triliun untuk pengembangan EBT dalam APBN 2016 tidak direstui seluruhnya lewat pos Kementerian ESDM. Meski begitu, Menteri ESDM Sudirman Said berjanji akan mengakomodasi kebutuhan pengembangan EBT dengan cara berbeda. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News