Kolaborasi Negara G20 Mendorong Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangunan infrastruktur berkelanjutan menjadi salah satu fokus pembahasan dalam KTT G20. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka membutuhkan dorongan dan kolaborasi semua pihak, termasuk pemerintah, kalangan swasta dan hingga lembaga pembiayaan. 

Dalam pertemuan ke-4 Kelompok Kerja Infrastruktur G20 (Infratructure Working Group/IWG) pada 15-16 September 2022, dilakukan finalisasi hasil kerja agenda G20 di bidang infrastruktur untuk mendapatkan persetujuan pada Forum Menteri Keuangan dan Bank Sentral. 

IWG memiliki enam agenda utama, yaitu investasi infrastruktur berkelanjutan, inklusi sosial dan kesenjangan daerah, infrastruktur transformatif pascapandemi, indikator Quality Infrastructure Investment (QII), infrastruktur digital dan infratech, serta tata kelola Global Infrastructure Hub (GI Hub).


Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari menjelaskan, agenda investasi infrastruktur menjadi salah satu dari enam agenda yang dibahas saat Pertemuan keempat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (4th FMCBG) G20 di Washington DC.

"Hasil pembahasan agenda infrastruktur tersebut di antaranya adalah menyepakati beberapa hal yang tertuang dalam Chair's Summary," jelas Rahayu, Minggu (6/11).

Rahayu menjelaskan, sejumlah poin tersebut antara lain untuk mendukung proses pemulihan ekonomi dunia yang kuat dan berkelanjutan, negara-negara G20 telah berdiskusi untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, inklusif, mudah diakses, serta terjangkau. 

Selain itu, para aggota mendukung secara sukarela (voluntary) dan tidak terikat (non-binding) G20/Global Infrastructure (GI) Hub Framework tentang praktik terbaik (best practices) dalam menjangkau partisipasi pihak swasta guna meningkatkan investasi infrastruktur yang berkelanjutan, yang mana akan disesuaikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi dari masing-masing negara anggota G20.

"GI Hub Framework juga mendukung mekanisme untuk menambahkan investasi dari sumber lain, termasuk investasi publik dan keuangan yang disediakan oleh Multilateral Develoment Banks (MDBs)," sambung Rahayu.

Salah satu bentuk konkret dalam menjaring keterlibatan swasta untuk membangun infrastruktur berkelanjutan yakni melalui transparansi. "Hal tersebut tertuang dalam komitmen bersama anggota G20 melalui peluncuran InfraTracker 2.0," jelas Rahayu.

Untuk menunjukkan komitmen tata kelola yang baik atas pendanaan infrastruktur berkelanjutan, anggota G20 juga mendukung penyusunan standar praktik baik (best practices) atas kerangka kerja (framework) serta penyusunan indilkator dari Quality Infrastructure Investment (QII).

Kalangan swasta memegang peranan penting dan strategis dalam pendanaan infrastruktur berkelanjutan. Terlebih, pendanaan dari sektor publik (pemerintahan) maupun multilateral development banks (MDBs) memiliki keterbatasan kapasitas dana publik.

Selain itu, dana komitmen penanganan iklim dan pembangunan berkelanjutan dari negara maju sesuai kesepakatan dalam Presidensi sebelumnya masih belum terealisasi. Dinamika sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu alasan belum terealisasinya dana komitmen ini.

"Oleh karena itu, peran swasta, MDBs serta filantropis menjadi alternatif pembiayaan yang diharapkan mendorong percepatan pembangunan berkelanjutan," tegas Rahayu.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna menjelaskan, saat ini pembangunan infrastruktur berkelanjutan memang dihadapkan pada tantangan untuk melibatkan sektor diluar pemerintahan.

"Sehingga memang harus melibatkan swasta, jadi sejalan dengan yang menjadi rekomendasi tadi," terang dia, Minggu (6/11).

Herry melanjutkan, saat ini minat badan usaha swasta cukup tinggi. Kendati demikian, masih diperlukan peningkatan sejumlah aspek demi mengoptimalkan potensi yang ada. Upaya peningkatan itu sudah dan terus dilakukan pemerintah.

Ia menjelaskan, agar badan usaha swasta dapat terlibat dalam proyek-proyek yang ada, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi pemerintah. "Pertama, proyeknya harus layak dan siap," ungkap Herry.

Demi menjamin kesiapan proyek, Herry menambahkan, maka pemerintah harus menyiapkan studi atau kajian terkait poyek yang akan ditawarkan dalam lelang nantinya.

Kedua, proyek harus layak dan menarik dari sisi investasi. Menurutnya, proyek yang ditawarkan harus memberikan kepastian pengembalian investasi termasuk dari sisi tarif.

Ia mencontohkan, untuk proyek jalan tol misalnya sudah memiliki kepastian tarif. Kondisi ini belum tersedia untuk proyek lain seperti proyek air minum.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, kebutuhan dana untuk penyediaan infrastruktur mencapai Rp 6.445 triliun.

KONTAN mencatat, dari total dana yang dibutuhkan tersebut, kemampuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui APBN/APBD hanya sebesar Rp 2.385 triliun. Sementara itu, BUMN/BUMD untuk memenuhi penyediaan infrastruktur mampu menyediakan dana sebesar Rp 1.353 triliun.

Kehadiran pendanaan dari badan usaha swasta diharapkan mampu mencapai Rp 2.707 triliun.

Merujuk catatan Kementerian PUPR, kemampuan APBN 220-2024 hanya mampu memenuhi 30% atau sekitar Rp 623 triliun dari total kebutuhan anggatan untuk penyediaan infrastruktur sebesar Rp 2.058 triliun.

Herry mengungkapkan, ada sejumlah skema yang dimungkinkan dalam mendorong peran swasta maupun lembaga pembiayaan.

Selain terlibat sejak awal proyek, badan usaha swasta juga bisa masuk pada proyek yang sudah beroperasi dengan mengambil alih kepemilikan dan selanjutnya mengembangkan proyek tersebut.

"Kalau infrastruktur kita umumnya di layer I pendanaan tahapannya dari equity dan perbankan. Nanti kalau yang sudah mulai ada di jalan tol. Setelah dia beroperasi ada INA, ada banyak proyek-proyek equity yang masuk untuk membeli kepemilikannya, jadi berpindah dia," terang Herry.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dapat memiliki potensi yang cukup besar.

Skema ini dinilai menjadi opsi pendanaan kreatif menghadapi potensi naiknya suku bunga.

"Kalau menggunakan mekanisme konvensional seperti penerbitan surat utang atau sukuk biaya bunganya akan semakin meningkat ke depannya," terang Bhima, Minggu (6/11).

Bhima melanjutkan, skema konvensional juga dihadapkan pada kekhawatiran timbulnya selisih kurs.

Untuk itu, skema KPBU diakui bisa menjadi solusi. Kendati demikian, Bhima menegaskan perlu adanya sejumlah perbaikan demi memuluskan upaya keterlibatan swasta dalam pembiayaan infrastrutur berkelanjutan.

Bhima mengungkapkan, perlu ada kepastian soal perizinan, pembebahasan lahan hingga kepastian pengembalian investasi.

Menurut dia, besaran Internal Rate of Return (IRR) menjadi salah satu aspek yang menentukan minat pelaku usaha.

Bhima bilang, ada sejumlah proyek yang dapat didorong dalam menjaring minat swasta. Sejumlah proyek tersebut antara lain seperti jalan tol dan pelabuhan yang dinilai memberikan kepastian investasi bagi swasta.

Proyek lain yang patut dilirik untuk ditawarkan yakni proyek-proyek energi terbarukan.

"Mungkin KPBU juga bisa diarahkan ke transisi energi karena ini membuka pintu masuk juga bagi para investor global yang terarik dengan isu mitigasi perubahan iklim," jelas Bhima.

Senior Industry and Regional Analyst Bank Mandiri, Mamay Sukaesih menyebutkan, merujuk data Bappenas maka kebutuhan anggaran infrastruktur dalam RPJMN 2020-2024 mencapai Rp 6.400 triliun. 

"Sektor badan usaha swasta dan lembaga pembiayaan diperkirakan menjadi sumber pembiayaan terbesar yakni 42%," ungkap dia, Minggu (6/11). 

Mamay menambahkan, dengan kondisi tersebut maka peranan swasta dan lembaga pembiayaan dalam mendukung infrastruktur berkelanjutan sangat penting. 

Kendati demikian, demi menjamin agar peran swasta dapat berjalan khususnya dalam skema KPBU maka perlu ada sejumlah hal yang dipastikan. 

Menurut Mamay, proyek yang ditawarkan harus memiliki kesiapan yang matang. Dengan demikian pelaksanaan proyek secara teknis tidak membutuhkan waktu lama. 

"Kepastian pengembalian investasi yang dapat diperoleh investor sehingga investor yakin berinvestasi dalam pembiayaan infrastruktur. Pemerintah dapat memberikan insentif, dukungan dan jaminan sehingga swasta tertarik," sambung dia. 

Mamay melanjutkan, faktor lainnya yakni ketepatan dan kejelasan pembagian alokasi risiko antara pemerintah dan swasta.

Terakhir, komitmen pemerintah dari awal perencanaan proyek, penyiapan proyek, pelaksanaan pembangunan proyek sampai selesai dan beroperasi.

Info terkini tentang G20 kunjungi g20.org

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ridwal Prima Gozal