JAKARTA. Sejak awal tahun 2016, harga Surat Utang Negara (SUN) terus melambung. Katalis positif dari dalam negeri maupun eksternal turut menopang pergerakan harga obligasi negara. Secara year to date hingga 19 Februari 2016, rata-rata harga obligasi pemerintah yang tercermin pada INDOBeX Government Clean Price naik 3,86% ke level 108,79. Mark Prawirodidjojo, Research Analyst Infovesta Utama menuturkan, stabilisasi nilai tukar rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) turut menopang harga SUN sejak awal tahun. Di pasar spot pada Jumat (21/2), rupiah ditutup pada level Rp 13.508,5 per dollar AS. Pada Januari 2016, kurs rupiah bergerak di kisaran Rp 13.800 hingga Rp 14.000. Sementara Pada Februari 2016, kinerja mata uang Garuda bergulir pada rentang Rp 13.300 - Rp 13.800. Lalu, iklim investasi Indonesia yang terus membaik juga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi Indonesia. Hal ini setidaknya tercermin pada angka credit default swap (CDS). Mengacu Consumer News and Business Channel per 19 Februari 2016, CDS Indonesia bertenor lima tahun mencapai 242,64. "Dari luar negeri, perlambatan ekonomi global dan kebijakan moneter longgar dari berbagai bank sentral turut mendorong daya tarik pasar obligasi Indonesia," paparnya. Desmon Silitonga, Analis PT Capital Asset Management menambahkan, ada beberapa faktor yang mengerek harga SUN sejak awal tahun 2016. Pertama, terjaganya tingkat inflasi domestik. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Indonesia per Januari 2016 mencapai 0,51%. Kedua, pemeringkat Moody’s Investors Service menegaskan peringkat Indonesia di level layak investasi alias investment grade. Peringkat Baa3 juga disertai dengan prospek stabil pada peringkat utang Indonesia. Ketiga, pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak awal tahun 2016, BI sudah memangkas suku bunganya sebanyak dua kali dengan total 50 bps menjadi 7%. BI rate menyusut sebesar 25 bps dari semula 7,5% pada pertengahan Januari 2016. Aksi terbaru, pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung pada 17 - 18 Februari 2016, BI rate kembali dipotong sebesar 25 bps. "Terjadi apresiasi harga SUN sehingga semakin menarik minat investor untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia, terutama asing yang agresif," tuturnya. Mengacu situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 17 Februari 2016, kepemilikan asing di SUN mencapai Rp 591,07 triliun, naik Rp 32,55 triliun dari posisi akhir tahun 2015 yang tercatat Rp 558,52 triliun. Dus, porsi asing juga membesar dari semula 38,21% menjadi 39,41%. Dari eksternal, Desmon berujar, tren penurunan yied obligasi pemerintah negara lainnya juga menambah daya tarik yield SUN yang masih di level tinggi. Lihat saja yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang menyusut dari posisi 2,29% di awal tahun menjadi 1,74% akhir pekan lalu. "Yield obligasi pemerintah Eropa dan Jepang juga cenderung turun. Apalagi setelah Jepang menetapkan kebijakan suku bunga negatif yakni minus 0,1%," imbuhnya.
Kombinasi domestik-eksternal sokong harga SUN
JAKARTA. Sejak awal tahun 2016, harga Surat Utang Negara (SUN) terus melambung. Katalis positif dari dalam negeri maupun eksternal turut menopang pergerakan harga obligasi negara. Secara year to date hingga 19 Februari 2016, rata-rata harga obligasi pemerintah yang tercermin pada INDOBeX Government Clean Price naik 3,86% ke level 108,79. Mark Prawirodidjojo, Research Analyst Infovesta Utama menuturkan, stabilisasi nilai tukar rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) turut menopang harga SUN sejak awal tahun. Di pasar spot pada Jumat (21/2), rupiah ditutup pada level Rp 13.508,5 per dollar AS. Pada Januari 2016, kurs rupiah bergerak di kisaran Rp 13.800 hingga Rp 14.000. Sementara Pada Februari 2016, kinerja mata uang Garuda bergulir pada rentang Rp 13.300 - Rp 13.800. Lalu, iklim investasi Indonesia yang terus membaik juga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi Indonesia. Hal ini setidaknya tercermin pada angka credit default swap (CDS). Mengacu Consumer News and Business Channel per 19 Februari 2016, CDS Indonesia bertenor lima tahun mencapai 242,64. "Dari luar negeri, perlambatan ekonomi global dan kebijakan moneter longgar dari berbagai bank sentral turut mendorong daya tarik pasar obligasi Indonesia," paparnya. Desmon Silitonga, Analis PT Capital Asset Management menambahkan, ada beberapa faktor yang mengerek harga SUN sejak awal tahun 2016. Pertama, terjaganya tingkat inflasi domestik. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Indonesia per Januari 2016 mencapai 0,51%. Kedua, pemeringkat Moody’s Investors Service menegaskan peringkat Indonesia di level layak investasi alias investment grade. Peringkat Baa3 juga disertai dengan prospek stabil pada peringkat utang Indonesia. Ketiga, pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak awal tahun 2016, BI sudah memangkas suku bunganya sebanyak dua kali dengan total 50 bps menjadi 7%. BI rate menyusut sebesar 25 bps dari semula 7,5% pada pertengahan Januari 2016. Aksi terbaru, pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung pada 17 - 18 Februari 2016, BI rate kembali dipotong sebesar 25 bps. "Terjadi apresiasi harga SUN sehingga semakin menarik minat investor untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia, terutama asing yang agresif," tuturnya. Mengacu situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 17 Februari 2016, kepemilikan asing di SUN mencapai Rp 591,07 triliun, naik Rp 32,55 triliun dari posisi akhir tahun 2015 yang tercatat Rp 558,52 triliun. Dus, porsi asing juga membesar dari semula 38,21% menjadi 39,41%. Dari eksternal, Desmon berujar, tren penurunan yied obligasi pemerintah negara lainnya juga menambah daya tarik yield SUN yang masih di level tinggi. Lihat saja yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang menyusut dari posisi 2,29% di awal tahun menjadi 1,74% akhir pekan lalu. "Yield obligasi pemerintah Eropa dan Jepang juga cenderung turun. Apalagi setelah Jepang menetapkan kebijakan suku bunga negatif yakni minus 0,1%," imbuhnya.