KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang pekan ini rupiah terus bergerak melemah, dan puncaknya ditutup terdepresiasi pada Jumat (13/12) menyentuh level Rp 16.009 per dolar AS. Jumat (13/12), rupiah spot ditutup pada level Rp 16.009 per dolar Amerika Serikat (AS), melemah 0,4% dari sehari sebelumnya. Sepanjang pekan ini rupiah telah melemah 1,03%. Sedangkan di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah bertengger di level Rp 15.987 per dolar AS. Dalam sehari melemah 0,3%, sementara dalam sepekan, rupiah Jisdor melemah 0,88%.
Baca Juga: Rupiah Rp 16.000: Bank Indonesia Tegaskan Intervensi Pasar Pakai Tiga Jurus Sekaligus Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong menjelaskan rupiah melemah oleh kombinasi sentimen domestik dan eksternal. Dari dalam negeri, data penjualan ritel menunjukkan hasil yang lebih rendah dari perkiraan. Sementara dari eksternal, data perdagangan China yang menunjukkan pertumbuhan ekspor dan impor yang lebih rendah dari harapan, dan deflasi China bulan November yang lebih besar dari perkiraan. Hal ini meningkatkan kekhawatiran ekonomi China yang masih lemah. Ditambah lagi rencana pemerintah China dalam membiarkan Yuan terdepresiasi tahun depan. Selain itu, data ekonomi AS juga menunjukkan hasil beragam. Mulai dari inflasi konsumen yang naik namun sesuai dengan perkiraan, inflasi produsen lebih tinggi dari perkiraan. Tetapi sektor pekerjaan terlihat mendingin dengan klaim pengangguran yang naik lebih besar dari perkiraan. Kombinasi tersebut membuat dolar makin perkasa sementara rupiah tertekan. "Indeks dolar AS pun terus naik. Dolar AS melanjutkan penguatan oleh pemangkasan suku bunga ECB 25 basis poin (bps) dan SNB 50 bps yang lebih besar dari perkiraan, data PDB Inggris yang lebih lemah menunjukkan resesi 2 bulan berturut-turut," kata Lukman kepada KONTAN, Jumat (13/13). Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menimpali, Bank sentral secara luas juga diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. Ini membuat pasar menjadi semakin tidak yakin atas rencana jangka panjangnya untuk suku bunga, terutama karena data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi. "The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada tahun 2025 setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada tahun 2024," kata Ibrahim, Jumat (13/12).
Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Melemah 0,3% ke Rp 15.987 Per Dolar AS pada Jumat (13/12) Selain itu kekhawatiran terhadap kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden Terpilih Donald Trump juga diperkirakan menjadi faktor untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang. Dari domestik, Ibrahim mencermati efek dari kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terhadap ekonomi, khususnya risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat. Ia mencontohkan pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11%, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. Ke depan, dengan kebijakan kenaikan PPN, Ibrahim menilai dampak serupa bisa terjadi atau bahkan lebih besar. Ibrahim khawatir terhadap potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan dan berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Rupiah Ditutup Melemah ke Rp 16.009 Per Dolar AS, Terburuk Sejak Agustus 2024 Untuk pekan depan, Ibrahim menilai rapat The Fed dan keputusan suku bunga di Jepang serta Inggris akan menjadi fokus yang memengaruhi pergerakan mata uang garuda. Perkiraan Ibrahim rupiah melemah dalam rentang Rp 15.090 - Rp 16.070 per dolar AS pada Senin (16/12). Sementara Lukman memproyeksi sepekan depan dolar masih akan melanjutkan penguatan, sehingga rupiah masih akan tertekan. Pekan depan, selain menantikan rapat dewan gubernur BI dan FOMC, Lukman bilang investor juga akan mencermati data inflasi AS yakni PCE hingga data perdagangan Indonesia bulan November.
Menurut Lukman rupiah diperkirakan bakal bergerak melemah pada Senin (16/12) dalam kisaran Rp 15.800-16.150 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi