JAKARTA. Pemerintah belum akan mengomersialkan hasil pengembangan jarak pagar menjadi bahan bakar nabati atau biodiesel. Pasalnya, nilai ekonominya belum bisa menyamai sawit, baik dari segi produktivitas maupun biaya produksi.Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga Barani mengungkapkan, saat ini pengolahan jarak pagar menjadi energi alternatif baru sebatas untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di suatu wilayah pedesaan. "Misal untuk program Desa Mandiri Energi, yang mana kebutuhan bahan bakar di desa tersebut tidak tergantung pada distribusi pemerintah," ujar Achmad di Jakarta, Rabu (16/6).Dalam hitungan Kementerian Pertanian, produktivitas jarak pagar per hektare masih sangat rendah dibandingkan produktivitas sawit. Karena, produksinya di bawah 10 ton per hektare. Tingkat rendemen atau kadar minyak yang terkandung di dalam jarak juga sangat rendah, hanya sekitar 25%. Artinya, jika nantinya produksi arak bisa mencapai 10 ton per hektare, volume minyak yang dihasilkan hanya sebesar 2,5 ton per hektare. "Padahal rendemen sawit sudah bisa mencapai 4 ton-6 ton per hektare," imbuh Achmad.Untuk meningkatkan nilai keekonomian jarak pagar, saat ini Kementerian Pertanian tengah melakukan penelitian benih jarak. Harapannya, dari penelitian ini akan dihasilkan benih yang bisa menghasilkan produksi dan rendemen yang lebih besar. Pengembangan jarak pagar sudah dimulai beberapa waktu lalu oleh para petani di Kabupaten Muko Muko, Bengkulu. Luas lahan mereka sudah mencapai 140 hektare. Keberhasilan para petani ini telah mendapat apresiasi dari pemerintah. Bahkan, kini daerah Muko muko telah menjadi pilot project untuk pengembangan bisnis jarak pagar. Pemerintah memang terus berupaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar yang berasal dari fosil. Pasalnya, jumlah tambang minyak dari fosil kini kian terbatas. Selain untuk bahan baku bahan bakar nabati atau biodiesel yang bisa mengganti minyak solar dan bio kerosin, pengganti minyak tanah, pengembangan jarak pagar di Bengkulu tersebut juga untuk mengembangkan berbagai produk turunan minyak jarak yang semuanya ramah lingkungan.Bukan hanya itu, ampas atau limbah hasil pengolahan jarak pagar juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti makanan unggas, makanan ikan, serta makanan udang air tawar dan payau. Bahkan, dengan teknologi modern, jarak pagar bisa dikembangkan menjadi bahan baku kosmetik, minyak gosok lulur, sabun, anti septik dan obat herbal. Namun, bisa jadi karena tingkat keekonomian bisnis jarak pagar masih kalah dari yang lain, pengusaha besar belum tertarik mengembangkan bisnis jarak pagar ataupun turunannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Komersialisasi Jarak Pagar Bakal Tertunda
JAKARTA. Pemerintah belum akan mengomersialkan hasil pengembangan jarak pagar menjadi bahan bakar nabati atau biodiesel. Pasalnya, nilai ekonominya belum bisa menyamai sawit, baik dari segi produktivitas maupun biaya produksi.Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga Barani mengungkapkan, saat ini pengolahan jarak pagar menjadi energi alternatif baru sebatas untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di suatu wilayah pedesaan. "Misal untuk program Desa Mandiri Energi, yang mana kebutuhan bahan bakar di desa tersebut tidak tergantung pada distribusi pemerintah," ujar Achmad di Jakarta, Rabu (16/6).Dalam hitungan Kementerian Pertanian, produktivitas jarak pagar per hektare masih sangat rendah dibandingkan produktivitas sawit. Karena, produksinya di bawah 10 ton per hektare. Tingkat rendemen atau kadar minyak yang terkandung di dalam jarak juga sangat rendah, hanya sekitar 25%. Artinya, jika nantinya produksi arak bisa mencapai 10 ton per hektare, volume minyak yang dihasilkan hanya sebesar 2,5 ton per hektare. "Padahal rendemen sawit sudah bisa mencapai 4 ton-6 ton per hektare," imbuh Achmad.Untuk meningkatkan nilai keekonomian jarak pagar, saat ini Kementerian Pertanian tengah melakukan penelitian benih jarak. Harapannya, dari penelitian ini akan dihasilkan benih yang bisa menghasilkan produksi dan rendemen yang lebih besar. Pengembangan jarak pagar sudah dimulai beberapa waktu lalu oleh para petani di Kabupaten Muko Muko, Bengkulu. Luas lahan mereka sudah mencapai 140 hektare. Keberhasilan para petani ini telah mendapat apresiasi dari pemerintah. Bahkan, kini daerah Muko muko telah menjadi pilot project untuk pengembangan bisnis jarak pagar. Pemerintah memang terus berupaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar yang berasal dari fosil. Pasalnya, jumlah tambang minyak dari fosil kini kian terbatas. Selain untuk bahan baku bahan bakar nabati atau biodiesel yang bisa mengganti minyak solar dan bio kerosin, pengganti minyak tanah, pengembangan jarak pagar di Bengkulu tersebut juga untuk mengembangkan berbagai produk turunan minyak jarak yang semuanya ramah lingkungan.Bukan hanya itu, ampas atau limbah hasil pengolahan jarak pagar juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti makanan unggas, makanan ikan, serta makanan udang air tawar dan payau. Bahkan, dengan teknologi modern, jarak pagar bisa dikembangkan menjadi bahan baku kosmetik, minyak gosok lulur, sabun, anti septik dan obat herbal. Namun, bisa jadi karena tingkat keekonomian bisnis jarak pagar masih kalah dari yang lain, pengusaha besar belum tertarik mengembangkan bisnis jarak pagar ataupun turunannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News