KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru-baru ini, Komika Soleh Solihun mengeluhkan mengenai penagihan pajak yang dialaminya. Melalui unggahan di media sosial pribadinya, Soleh Solihun mengaku terus ditagih oleh petugas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait penghasilan dari Youtube-nya. Padahal, dirinya mengaku sudah tidak mendapatkan lagi penghasilan dari Youtube sejak tahun 2018 lalu. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, kasus yang dialami Soleh Solihun bukan berupa tagihan pajak, melainkan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Prianto bilang, kegiatan tersebut merupakan tugas rutin petugas pajak untuk melakukan pengawasan kepatuhan. "Karena sistem perpajakan di Indonesia untuk PPh adalah
self assessment, kantor pajak diberi instrumen pengawasan di Pasal 35A UU KUP," ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Senin (16/10).
Baca Juga: Impor Kosmetik, Jam Tangan, Hingga Sepeda Masuk MFN, Tarif Pajaknya Lebih Tinggi Adapun bentuk pengawasannya adalah berupa data matching. Caranya adalah dengan membandingkan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dengan data dari pihak lainnya, misalnya media sosial. "Jadi untuk aktivitas youtuber,
Account Representative (AR) di KPP mengecek aktivitas youtuber di postingan kanal youtube mereka, lalu membandingkan dengan laporan penghasilan di SPT youtuber," katanya. Nah, ketika ada hal yang perlu diklarifikasi, petugas pajak diberi kewenangan untuk meminta keterangan / penjelasan dari Wajib Pajak yang masuk ke dalam daftar prioritas pengawasan. Bentuknya berupa pengiriman Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan atau SP2DK. Berdasarkan SP2DK, WP OP diberi hak untuk menjelaskan dan menyertakan bukti pendukung karena informasi darimanapun harus
reliable (andal) dan verifiable (dapat diverifikasi). Menurutnya, sering kali terjadi bahwa penjelasan WP OP belum memenuhi ekspektasi AR, lantaran AR harus menjawab temuan dan hasil analisis yang diunggah di Sistem Informasi Ditjen Pajak. Prianto bilang, saat ini, petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menganggap bahwa pendapatan youtuber tersebut termasuk bagian dari aktivitas dari pekerjaan bebas.
Baca Juga: Kerek Rasio Pajak Daerah ke Level 3% Untuk itu, sesuai Pasal 28 UU KUP, WP OP youtuber harus memiliki pencatatan penghasilan bruto bulanan atau melakukan pembukuan. "Nah, WP OP youtuber seringkali tidak menyelenggarakan keduanya. Makanya, ketika ada permintaan penjelasan berupa SP2DK, WP OP youtuber mengalami kesulitan memberikan penjelasan memadai," katanya. Dirinya menambahkan, mekanisme PPh untuk youtuber disamakan dengan penghasilan dari pekerjaan bebas. Misalnya dokter, akuntan publik, konsultan hukum, appraiser, notaris, dan aktuaris. Nah, Youtuber tidak diperkenankan menggunakan tarif PPh final 0,5%. Oleh karena itu, mereka harus menggunakan norma penghitungan penghasilan neto jika memilih pencatatan penghasilan bruto bulanan.
Baca Juga: Pelaporan SPT PPh Baru Mencapai 14,6 Juta Jika mereka memilih pembukuan, semua penghasilan dan biaya harus dicatat secara memadai. Penghitungan PPh tahunannya mengacu pada semua penghasilan yang menjadi objek PPh tidak final, lalu penghasilan tersebut dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. "Dari perhitungan tersebut, diperoleh penghasilan neto. Selanjutnya, penghasilan neto tersebut dikurangi dengan PTKP (Penghasilan tidak Kena Pajak) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif progresif dari 5% hingga 30% tergantung besaran penghasilan kena pajaknya," imbuh Prianto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto