JAKARTA. Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, tidak masalah jika dana saksi untuk pemilu tidak disetujui oleh pemerintah. "Tidak masalah. Toh itu awalnya juga dari pemerintah. Yang penting semua pihak sudah menyadari betapa pentingnya pengawasan atas pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS," kata Agun pada KONTAN via blackberry massanger, Jumat, (7/2). Menurutnya, dari setiap penyelenggaraan pemilu, terutama pengalaman di pilkada, selalu saja terjadi praktik-praktik kecurangan di TPS. Modus kecurangan beragam mulai dari munculnya "Preman" di sekitar TPS yang menggunakan cara halus sampai kasar untuk mempengaruhi pemilih yang datang ke TPS. Mereka bahkan menggunakan pakaian seragam dengan warna yang mengidentikan partai. "Hal ini terus saja terjadi karena tidak adanya pengawas pemilu atau Bawaslu di TPS, yang memang dalam UU No 8 Tahun 2012 tidak diatur kehadiran Pengawas Pemilu di TPS. Yang ada hanya di tingkat Kelurahan atau Desa dengan jumlah 1 sampai 5 orang, padahal jumlah TPS nya puluhan," ujar politisi senior Golkar tersebut. Di sisi lain, saksi parpol juga selalu tidak ada atau tidak lengkap, sehingga kecurangan itu masif terjadi. Bahkan kecurangan sudah banyak melibatkan oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terlibat dan ditindak. "Semoga saja Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di TPS yang sudah disetujui dengan dana Rp 800 Miliar bisa melakukan pengawasan dengan baik dan tidak berpihak pada salah satu peserta pemilu," pungkas Agun.
Komisi III tak masalah dana saksi pemilu ditolak
JAKARTA. Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, tidak masalah jika dana saksi untuk pemilu tidak disetujui oleh pemerintah. "Tidak masalah. Toh itu awalnya juga dari pemerintah. Yang penting semua pihak sudah menyadari betapa pentingnya pengawasan atas pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS," kata Agun pada KONTAN via blackberry massanger, Jumat, (7/2). Menurutnya, dari setiap penyelenggaraan pemilu, terutama pengalaman di pilkada, selalu saja terjadi praktik-praktik kecurangan di TPS. Modus kecurangan beragam mulai dari munculnya "Preman" di sekitar TPS yang menggunakan cara halus sampai kasar untuk mempengaruhi pemilih yang datang ke TPS. Mereka bahkan menggunakan pakaian seragam dengan warna yang mengidentikan partai. "Hal ini terus saja terjadi karena tidak adanya pengawas pemilu atau Bawaslu di TPS, yang memang dalam UU No 8 Tahun 2012 tidak diatur kehadiran Pengawas Pemilu di TPS. Yang ada hanya di tingkat Kelurahan atau Desa dengan jumlah 1 sampai 5 orang, padahal jumlah TPS nya puluhan," ujar politisi senior Golkar tersebut. Di sisi lain, saksi parpol juga selalu tidak ada atau tidak lengkap, sehingga kecurangan itu masif terjadi. Bahkan kecurangan sudah banyak melibatkan oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terlibat dan ditindak. "Semoga saja Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di TPS yang sudah disetujui dengan dana Rp 800 Miliar bisa melakukan pengawasan dengan baik dan tidak berpihak pada salah satu peserta pemilu," pungkas Agun.