Komisi III versus Priyo soal surat remisi koruptor



JAKARTA. Surat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang surat pengaduan 9 narapidana lembaga pemasyarakatan Sukamiskin terkait Peraturan Pemerintah (PP) 99 tahun 2012 tentang pemberian remisi patut dipertanyakan. Komisi III menyatakan belum selesai membahas sampai surat itu dikirimkan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso kepada Presiden SBY, sementara Priyo mengaku merasa harus meneruskan surat yang diterima Komisi III DPR RI itu ke Presiden.Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika menjelaskan, pembahasan mengenai PP 99 tahun 2012 itu telah dilakukan sejak lama di Komisi III. Bahkan jauh sebelum Pasek duduk di Komisi yang membidangi hukum dan HAM tersebut.Selama sekitar satu tahun ia memimpin komisi tersebut, lanjutnya, sembilan narapidana yang mengajukan permohonan perlindungan hukum dan HAM itu sempat diundang untuk hadir dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR dan masyarakat yang mengadu masalah lainnya. Akan tetapi, RDPU dengan sembilan napi itu tak pernah terwujud karena yang bersangkutan tak pernah hadir. "Masalah sudah lama, sebelum saya masuk ke Komisi III. Kita sudah sempat ngundang yang ngadu ke DPR, tapi yang bersangkutan tidak hadir karena alasan waktu," kata Pasek, saat dihubungi pada Senin (15/7).Politisi Partai Demokrat ini menegaskan, tak semua Anggota Komisi III mengetahui ada pengaduan sembilan napi tersebut. Akan tetapi, kata Pasek, pembahasan bisa saja telah dilakukan sebelum dirinya masuk ke Komisi III."Pas zaman saya tidak ada RDPU (dengan pengadu), tidak tahu kalau sebelum saya di Komisi III. Kita sudah merespons, dan tidak semua Komisi III tahu," ujarnya.Merasa perlu diteruskanSebelumnya, Priyo mendapatkan surat perihal permohonan perlindungan hukum dan HAM dari sembilan narapidana kasus korupsi yang mewakili 106 narapidana di Lapas Sukamiskin, Bandung. Sembilan orang tersebut adalah Jenderal (Purn) Hari Sabarno, Agusrin M Najamuddin, Wijanarko Puspoyo, Soetejo Yuwono, Muchtar Muhammad, Jumanto, Abdul Syukur Ganny, Haposan Hutagulung, dan Abdul Hamid.Priyo membantah meneruskannya ke Presiden untuk membela koruptor. Ia berkilah, sebagai pimpinan DPR yang membawahi polhukam (politik, hukum, keamanan), yaitu Komisi III, dirinya merasa wajib menandatangani surat itu dan menyampaikannya kepada Presiden.Priyo menceritakan, pada 11 Februari 2013 lalu, Komisi III DPR menerima laporan pengaduan masyarakat tentang kondisi para napi di lapas. Priyo pun membantah surat itu terkait dengan kunjungannya ke Lapas Sukamiskin beberapa waktu lalu. Ia hanya menjelaskan bahwa pada saat kunjungan ke Sukamiskin, Hari Sabarno sempat mengingatkan soal surat keluhan itu. Menurut Priyo, seluruh pengaduan masyarakat yang terkait dengan bidang polhukam selalu diteruskannya kepada Presiden.Lebih lanjut, Priyo menjelaskan, DPR meneruskan pengaduan itu karena hak asasi setiap warga negara harus dijamin, termasuk para narapidana. Ia meminta publik tidak selalu membenci para narapidana karena mereka juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.Ketentuan PP 99 itu salah satunya mengatur bahwa pemberian remisi pada napi korupsi, narkoba, dan terorisme harus ada persyaratan khusus. Remisi hanya dapat diberikan dengan syarat yaitu bersedia menjadi justice collabolator dan membayar uang pengganti untuk napi kasus korupsi. Remisi itu biasa diberikan pada hari raya atau Hari Kemerdekaan RI setiap 17 Agustus.Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, PP tersebut tidak perlu dihapus ataupun direvisi. Sebab, PP tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan efek jera pada narapidana khsusunya koruptor.Selain itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) berencana melaporkan Priyo ke Badan Kehormatan (BK) DPR. Priyo dianggap memfasilitasi para narapidana yang menginginkan peraturan tersebut dihapus. Tindakan Priyo dinilai berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. (Indra Akuntono/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie