Komitmen Menggenjot EBT Terkendala Kesiapan Regulasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minat investasi pada sektor energi baru terbarukan (EBT) masih cukup tinggi. Ini tercermin dari masih maraknya proyek-proyek EBT yang digarap sejumlah perusahaan baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta.

Meski demikian, realisasi kinerja sektor EBT masih belum memuaskan. Direktur Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengungkapkan, kinerja tahun ini masih di bawah target.

"Beberapa (sektor) lolos dari rencana misalnya panas bumi tidak sesuai target kita," ungkap Dadan ditemui di Kementerian ESDM, Senin (28/11).


Dadan mengungkapkan, upaya akselerasi proyek-proyek EBT dilakukan pasca gelaran B20 dan G20. Salah satunya dengan memanfaatkan dana melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Baca Juga: Usai Mou, PLN Bakal Jajaki Potensi Pengembangan Energi Bersih dengan ACWA Power

JETP merupakan skema pendanaan transisi energi Indonesia bersama sekelompok negara maju dengan target nilai investasi sebesar US$ 20 miliar. Dana ini bakal bersumber dari sektor publik dan swasta masing-masing sebesar US$ 10 miliar.

Komitmen untuk mendorong proyek EBT pun disampaikan oleh sejumlah perusahaan. Corporate Secretary Pertamina New Renewable Energy Dicky Septriadi mengungkapkan, sejumlah proyek kini menjadi fokus Pertamina Group mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan panas bumi.

"Dari tenaga surya kita lagi finishing untuk proyek PLS terbesar di Pertamina Group, itu 25 MWp di kawasan Blok Rokan," ungkap Dicky kepada Kontan, Senin (28/11).

Dicky melanjutkan, saat ini PLTS berkapasitas 17 MWp sudah terpasang. Sisa kapasitas ditargetkan akan terpasang pada akhir tahun ini. Kehadiran PLTS ini untuk mendukung operasional Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Blok Rokan. Selain itu, Blok Rokan diklaim bisa menciptakan efisiensi mencapai US$ 5 juta dengan hadirnya proyek ini.

Sementara itu, Pertamina melalui Pertamina Geothermal Energy (PGE) juga tengah merampungkan PLTP Lumut Balai Unit 2. Dicky menjelaskan, untuk rencana jangka panjang, Pertamina menganggarkan hingga US$ 8 miliar sampai 2026 mendatang untuk mendanai sektor EBT.

Sementara itu, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) melalui anak usahanya, PT Bakrie Power juga tengah merampungkan sejumlah proyek EBT. Direktur Utama Bakrie Power Dody Taufiq Wijaya mengungkapkan, proyek EBT yang digarap terdiri dari proyek internal perusahaan dan proyek di luar perusahaan.

"Kami sedang mengembangkan PLTS Atap di beberapa pabrik di lingkungan Bakrie Group," kata Dody kepada Kontan, Senin (28/11).

Dody menambahkan, sejauh ini PLN sudah melaksanakan 2 paket lelang untuk proyek EBT. Ia pun berharap lelang paket lainnya juga segera dilakukan.

"Bakrie Power tentu akan turut serta jika memang menarik," ungkap Dody.

Dody belum bisa merinci lebih jauh besaran investasi untuk EBT yang disiapkan perusahaan. 

Baca Juga: Garap PLTB Tanah Laut, Konsorsium Adaro Power dan Total Eren Jajaki Peluang Pendanaan

Pengembangan EBT Masih Hadapi Tantangan

Upaya menggenjot proyek-proyek EBT demi mencapai target bauran 23% pada 2025 dinilai masih menemui sejumlah kendala. Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi mengungkapkan, pihaknya berharap gelaran G20 dapat memberikan dampak positif pada pengembangan EBT. Terlebih adanya komitmen JETP senilai US$ 20 miliar. Pihaknya berharap komitmen ini dapat terasa manfaatnya pada tahun depan.

Prijandaru mengungkapkan, sejak 2017 belum ada Izin Panas Bumi (IPB) yang dikeluarkan pemerintah.

"Tantangannya  adalah masalah keekonomian proyek yang belum sesuai dengan resiko yang diambil oleh pengembang," ungkap Prijandaru.

Prijandaru menambahkan, pelaku usaha kini masih menanti aturan turunan Perpres 112/2020 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Menurutnya, dengan skema bisnis saat ini maka akan sulit bagi sektor panas bumi mencapai target kapasitas terinstall yang diisyaratkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

"Tidak bisa hanya mengandalkan PLN saja, pemerintah wajib hadir melalui penugasan dan peraturan yang berpihak terhadap pengembangan panas bumi," imbuh Prijandaru.

Sementara itu, Dicky menjelaskan kendala regulasi memang masih terjadi. Menurutnya, saat ini masih ada tumpang tindih kebijakan antara kementerian dan lembaga.  Selain itu, perbedaan kebijakan di tingkat daerah juga dinilai masih menjadi tantangan upaya menggenjot EBT.

"Lebih ke proses kita kordinasi dengan stakeholder lain," jelas Dicky.

Sementara itu, Dody menilai perlu ada terobosan-terobosan untuk mencapai target bauran EBT pada 2025 mendatang. Selain itu, perlu ada perbaikan untuk proses lelang proyek yang dilakukan.

"Antara lain menghitung ulang keekonomian proyek, kontrak pembangkitnya ditinjau sehingga nilai investasi yang dibutuhkan bisa masuk," pungkas Dody.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi