JAKARTA. Krisis utang yang melanda Eropa dan Amerika dipastikan belum akan menemukan titik terang tahun depan. Namun, para pengusaha di sektor komoditas yakin komoditas dan produk-produk turunannya akan tetap prospektif, khususnya komoditas pangan seperti kelapa sawit, kakao dan kopi yang mempunyai kontribusi besar terhadap ekspor Indonesia. Singkat kata, krisis Eropa tidak akan menyebabkan permintaan turun. Apalagi, harga minyak mentah tahun depan kemungkinan akan lebih tinggi dari tahun ini. Kenaikan harga minyak akan mengerek harga komoditas lainnya di pasar internasional. Kurtubi, pengamat perminyakan mengatakan, minyak mentah atau crude oil merupakan salah satu komponen utama industri. Saat harga minyak mentah naik, harga semua produk pun ikut meningkat. "Minyak komponen dasar dalam industri, sangat tidak mungkin banderol minyak mentah dunia bisa turun ke US$ 70 per barel seperti beberapa tahun lalu," ujar dia.
Menurut hitungan Kurtubi, di tahun 2011, rata-rata Indonesia Crude price (ICP) berada di kisaran US$105 per barel. Namun, selama Januari-Desember 2012, ICP akan di angka US$115. Ini karena pertumbuhan ekonomi di China, India dan negara-negara di luar Eropa dan Amerika. "Ekonomi di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia kan akan tetap tumbuh di tahun 2012," kata Kurtubi. Kenaikan harga minyak ini akan mendongkrak harga berbagai komoditas. Sebut saja, minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang selain menjadi bahan baku makanan dan minuman juga menjadi bahan baku energi biofuel. Karena itu, pengusaha kelapa sawit tetap optimistis, walaupun ada krisis di beberapa belahan dunia, di tahun 2012 bisnis CPO akan tetap menarik. "Permintaan dari Eropa bisa saja turun, tapi bisa disubstitusi dari negara lain yang kebutuhannya terus meningkat," kata Kiswoyo Ady Joe, analis komoditas dari Askap Futures. Menurut Kiswoyo, permintaan yang besar memang bakal datang di negara Asia yang bakal menjadi penyangga ekonomi dunia. Terutama, datang dari China, Jepang, dan India. Namun, menurut Kiswoyo, kondisi di Amerika juga sudah akan berubah. "Permintaan dari Amerika juga berpotensi naik meskipun sedikit, karena perekonomian Amerika sudah mulai tumbuh walaupun sedikit," jelas Kiswoyo. Hanya saja, dari sisi produksi, pelaku bisnis sektor komoditas harus tetap waspada. Terutama, menghadapi perubahan cuaca di dalam negeri yang kini tidak menentu. Soalnya, saat hujan terus melanda di tahun 2010 bahkan juga di tahun 2011, produksi sejumlah komoditi turun. Tidak mustahil, kondisi cuaca di tahun 2012 bisa saja mengganggu pasokan seperti terjadi di komoditas kakao di tahun 2011 ini. Kakao Pemberlakuan bea keluar (BK) kakao sejak April 2010 bakal semakin berdampak bagi kinerja komoditas ini. Kebijakan mulai memicu industri hilir kakao. Saat ini ada 16 perusahaan pengolahan kakao berkapasitas produksi mencapai 680.000 ton per tahun. Sebentar lagi, sejumlah perusahaan asing, yaitu ADM Cocoa Pte Ltd, Barry Callebaut Canada Inc, Cargill Inc, dan JB Cocoa Inc, akan berinvestasi di Indonesia. Total estimasi kapasitas pengolahan mereka lebih dari 200.000 ton per tahun. "Ini akan mendorong ekspor kakao olahan," kata Pites Jasman, Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI). AIKI menghitung, ekspor olahan kakao ada tahun ini mencapai 230.000 ton, naik 52,17% dari tahun 2010. Tahun 2012 nanti, jumlah itu bakal menembus 350.000 ton. Harga kakao juga juga akan meningkat. Zulhefi Sikumbang, Ketua Asosiasi kakao Indonesia, optimistis, harga kakao tahun 2012 mencapai US$ 3.300 - US$ 3.500 per ton, naik dari rata-rata tahun ini US$ 3.000 per ton. "Soalnya, ada potensi defisit pasokan. Permintaan pasar sebanyak 3,6 juta ton, tapi produksi hanya 3,4 juta ton," ujar Zulhefi. Kopi Tahun depan, produksi kopi berpotensi stagnan dibandingkan pada tahun 2011. Ada kekhawatiran, curah hujan tetap tinggi. "Ekspor kopi akan sulit terangkat," kata Rachim Kartabrata, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Menurutnya, ekspor kopi hanya akan berada di kisaran 410.000 ton per tahun. Bahkan, volume ekspor itu bisa semakin turun, bila harga kopi turun. Sepanjang November silam, harga rata-rata kopi di ICO mencapai US$ 192,66 per pon. Satu pon setara dengan 0,45 kilogram (kg). Harga ini melorot 16,6% dari harga rata-rata tertinggi pada April yang menyentuh US$ 231,24 per pon. Harga di pasar internasional bakal susah naik, karena pasar kopi terbesar, yakni di Amerika Serikat dan Eropa lesu terkena krisis. Namun, pengusaha tetap punya alternatif. Tidak perlu jauh-jauh, pengusaha cukup mengalihkan perdagangan ke dalam negeri. "Minum kopi sudah menjadi gaya hidup yang makin digemari masyarakat, sehingga mendorong permintaan," kata Suyanto Husein, Ketua AEKI.Apalagi, pembeli domestik berani membayar lebih mahal ketimbang pasar ekspor. Disamping itu, pengusaha juga tidak perlu keluar biaya ekspor. Karet Akhir tahun ini, perdagangan karet seperti kehabisan darah karena harga komoditas ini anjlok di bawah US$ 3 per kg. Padahal, pada Februari-Maret 2011, harga karet sempat mencapai US$ 5,82 per kg. Namun, TB Chandra, Ketua Tim Analisa Pasar Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), meyakini, harga karet akan kembali bergairah pada tahun depan. Ia menghitung, harga karet bisa mencapai US$ 4 - US$ 4,5 per kg. "Penyebabnya, ada defisit pasokan di pasar dunia yang terjadi sejak tahun ini," papar Chandra. Chandra bilang, kebutuhan karet tahun 2012 mencapai 12,5 juta ton, naik 9% dari tahun 2011 sekitar 11,45 juta ton. Kenaikan itu karena konsumsi karet alam di India dan China melonjak. Namun, jumlah produksi karet hanya 11,5-11,6 juta ton saja. Teh Sepanjang tahun ini, komoditas teh mencatatkan kinerja yang menggembirakan. Harga teh stabil di tingkat tinggi. Harga lelang teh hitam periode Januari-September 2011 rata-rata US$ 1,98 per kg. "Ini melampui target kami, yakni US$ 1,83-US$ 1,84 per kg," kata Atik Darmadi, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia (ATI). Salah satu penyebab peningkatan itu adalah kualitas daun teh semakin meningkat. Tak heran, saat petani panen pun, harga teh tetap stabil. Catatan saja, petani mulai panen sejak November lalu dan akan mencapai puncaknya pada Januari-April tahun depan. Menurut Atik, harga lelang teh bisa meningkat lagi, yakni mencapai US$ 2 per kg. Hal ini terdorong dari permintaan teh yang tinggi di pasar domestik maupun ekspor. Lihat saja, dari tahun ke tahun, ekspor teh selalu meningkat. Namun, Endang Sopari, Wakil Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo), mengingatkan, ada potensi penurunan produksi teh. Soalnya, dari tahun ke tahun selalu terjadi penyusutan lahan teh. "Pengurahan kebun teh mencapai 3.000 ha per tahun," kata Endang. Hal ini diperparah dengan kondisi kebun teh yang kurang produktif karena usia tanaman semakin tua. "70%-80% kebun teh sudah saatnya diremajakan," kata Andre T, Direktur Pemasaran dan Promosi Dewan Teh Nasional. CPO Dorab E Mistry, Direktur Godrej Internasional Limited, yang fokus mengamati perdagangan komoditas CPO memperkirakan, produksi CPO Malaysia yang merupakan pesaing utama Indonesia stagnan di 18,6 juta-19 juta ton. Padahal, permintaan CPO di pasar global, menurut hitungan Dorab terus naik. Tahun ini, kebutuhan CPO dunia sekitar 48.680 juta ton, sedang tahun 2012 akan naik 5,1% menjadi 51.150 juta ton. Peningkatan itu karena permintaan CPO untuk diolah menjadi biofuel yang jumlahnya mencapai 700.000 ton. Kondisi tersebut akan menguntungkan Indonesia yang masih bisa meningkatkan produksi.
Joko Supriyono, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), memperkirakan, produksi CPO Indonesia naik dari 23,5 juta ton tahun ini menjadi 25 juta ton di tahun 2012. "Ini akan mendongkrak ekspor," katanya. Toh harga CPO tahun depan tampaknya tidak begitu menggembirakan karena dampak krisis global. Derom Bangun, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia memperkirakan, di Januari-Februari 2012, harga CPO akan berada di sekitar angka US$ 1.200 per ton. Namun, harga ini diprediksi akan berangsur-angsur turun, sehingga rata-rata sekitar US$ 1.050 per ton. Harga itu di bawah rata-rata banderol CPO tahun ini sekitar US$ 1.100 per ton. Meskipun begitu, harga tersebut masih lebih baik dari tahun 2010 hanya US$ 900 per ton. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini