Ada dua logika transportasi belakangan ini. Logika pertama memasyarakatkan motor-mobil dan memotormobilkan masyarakat. Dari logika ini motor-mobil disosialisasikan, masyarakat diharapkan memakai motor-mobil dalam aktivitasnya. Banyak manfaat diperoleh dengan adanya kendaraan bermesin. Kota adalah daerah pertama yang terpapar motor-mobil sejalan dengan pertumbuhan urbanisasi bersamaan juga muncul hunian, perkantoran, pasar dan otomatis infrastruktur jalan. Kota makin padat, hiperaktivitas kendaraan dan orang tak terelakkan. Inilah janin kemacetan. Logika kedua, memasyarakatkan transportasi massal dan membuat masyarakat menggunakan transportasi massal. Di Jabodetabek kemacetan mengakibatkan kerugian pertahun Rp 65 triliun. Jika ditambah kota lain jumlah itu bisa membengkak.
Sosialisasi transportasi massal dimulai dengan bus way. Termasuk bus pengumpan dari perumahan pinggiran Jakarta. Ke depan mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT). Peningkatan kereta komuter jarak dekat. Banyak keuntungan transportasi masal, dari daya angkut, kecepatan dan ketepatan waktu perjalanan, mengurangi pergerakan jumlah kendaraan, termasuk menurunkan polusi dan BBM, biaya lebih murah. Belum lagi perkembangan transit oriented development (TOD). Logika transportasi pertama menuntut manfaat sebesar-besarnya dari beli-pakai kendaraan. Buat industri kendaraan dan pembiayaan, pertumbuhan beli-pakai ini sangat diharapkan. Slogan beli - kendarai - melaju di jalan, menuntut lalu lintas tidak boleh macet. Langkah memperlebar jalan, membuat underpass, jalan layang, jalan tol, tol susun ditempuh. Tapi, tuntutan seperti inipun mempunyai batas. Lahan minim dan alih fungsi ruang tidak mudah. Harapan beli-pakai kendaraan tanpa macet mulai membentur kenyataan. Pada satu titik kemacetan parah terjadi. Kondisi ini mengkhianati logika memotormobilkan masyarakat. Aktivitas masyarakat yang mestinya bisa lebih lancar justru sebaliknya terjadi. Tidak ada cara lain kompromi harus dilakukan. Logika pertama memotormobilkan masyarakat harus dicangkokkan pada logika kedua. Teorinya mudah praktiknya susah, karena kontradiksi kedua logika tersebut. Orang beli kendaraan tentu untuk dipakai semaksimal dan sefleksibel mungkin bukan untuk disimpan di garasi. Mendorong masyarakat menggunakan transportasi masal, mendegradasikan logika pertama itu. Fleksibilitas transportasi Kendaraan yang sudah dibeli dan dipakai menjadi turun fungsinya karena kesulitan untuk digunakan, memaksa tetap dipakai berhadapan dengan kemacetan. Belum lagi adanya peraturan yang mempersulit memakai kendaraan dari kebijakan three in one, nomor ganjil-genap dan lainnya. Upaya mencangkokkan logika saya beli - miliki kendaraan, maka saya memakai transportasi massal menabrak logika asalnya. Tapi kompromi ini harus diambil karena tidak ada solusi lain. Bagaimana kalau masyarakat tidak beli -miliki kendaraan karena sudah ada transportasi massal? Ini merugikan komitmen industri kendaraan yang sudah berjalan. Bagaimanapun motor - mobil harus dijual atau dibeli apalagi ada DP nol persen. Walau pemakaiannya dihambat kemacetan yang salah satunya juga akibat peningkatan jumlah kendaraan. Apalagi kendaraan di hati masyarakat penuh simbol, makna dan status bukan sekedar fungsional. Dari gengsi kendaraan mewah pun mobil murah, dari mobil listrik sampai valet parking. Jadi kendaraan harus tetap dibeli-diganti, dimiliki-dikendarai. Anak kandung kebebasan berkendaraan bernama macet. Fakta dan prediksi macet ke depan begitu suram makin tak terhindarkan dan merugikan semua. Memasyarakatkan transportasi massal dan membuat masyarakat menggunakan transportasi massal harus dimulai. Milenial lebih siap karena ramah perubahan. Informasi, teknis, etika bermoda makin terbentuk khususnya Jakarta. Pilot project yang baik untuk kota-kota lain. Habit bertransportasi massal tanpa menolak beli-pakai kendaraan pribadi menjadi keniscayaan jika kedua logika tersebut tidak ada yang mau mengalah. Beli-miliki kendaraan tapi tidak dipakai secara penuh. Jadwal tidak memakai kendaraan pribadi itu diisi dengan memakai transportasi massal. Hanya itu kompromi minimal, jika tidak mau ditolak. Terkadang kita tidak bisa memiliki semua tetapi harus memilih. Kendaraan pribadi atau transportasi massal? Harga pemilihan itu sangat mahal, kita sudah memiliki keduanya, semua bermanfaat dan menguasai hajat hidup orang banyak. Menolak yang satu demi yang lain kita tidak tega dan ada banyak harga yang harus dibayar untuk itu. Bagaimana jika kedua logika tersebut adu kuat? Kemacetan akan menjadi-jadi karena masyarakat tetap menggunakan kendaraan pribadi yang bernilai sosial-ekonomis-psikis. Bermacet riapun menjadi habit yang terpaksa dengan slogan dibawa enjoy aja. Transportasi massal bisa menjadi pilihan logis masyarakat dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Tapi jangka panjang industri kendaraan bisa meredup karena kendaraan jarang dipakai. Perawatan dan penggantian mobil baru lebih jarang dan ini menurunkan biaya kendaraan. Produksi dan pembiayaan terimbas. Belum lagi gempuran transportasi online yang bersifat seperti kendaraan pribadi mengurangi masyarakat beli-pakai kendaraan sendiri. Jangka panjangnya akan menurunkan biaya beli, ganti kendaraan baru, perawatan, sebab pemakaiannya berkurang karena alih moda transportasi massal dan online. Tarik-menarik inilah yang akan menentukan wajah transportasi kita ke depan. Kebebasan tak boleh dimaknai sebagai hilangnya batasan pada pilihan moda transportasi. Itu tidak bisa dipraktikkan karena tidak mungkin dilakukan secara penuh. (Timothy Keller, 2016) Jika semua ingin bebas memakai kendaraan pribadi untuk berbagai aktivitas, yang terjadi justru menuai macet yang menghambat aktivitas itu. Memilih transportasi massal berarti mengkompromikan kenyamanan dan tujuan pribadi menjadi kenyamanan bersama. Transportasi massal tidak bisa melayani kepentingan pribadi secara penuh. Harus ada kebebasan bertransportasi pribadi yang dikorbankan untuk kepentingan bertransportasi massal yang lebih besar, masuk akal, harmonis, menguntungkan dan sustainable.
Tidak ada kebebasan bertransportasi secara mutlak, yang ada memilih transportasi mana yang lebih penting dan membebaskan masyarakat secara kasus per kasus. Jika macet dirasa menindas sudah waktunya masyarakat berpindah ke transportasi massal. Jika privasi transportasi massal tidak ada, tidak salah memakai kendaraan pribadi. Dengan konsekuensi yang berpikiran sama seperti itu bukan satu-dua orang tapi ribuan bahkan mungkin jutaan. Kebebasan bertransportasi bukan hilangnya batasan, tapi memilih batasan yang tepat dan meninggalkan kebebasan yang menindas demi kebebasan yang lebih baik, apapun moda transportasinya.•
Stevanus Subagijo Peneliti pada Center for National Urgency Studies Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi