KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingginya inflasi Amerika Serikat (AS) telah memaksa The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps pada FOMC meeting terakhir. Agresifnya langkah The Fed telah menimbulkan kekhawatiran di pelaku pasar karena hal tersebut bisa memicu terjadinya resesi ekonomi. Kendati begitu, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menilai terlalu cepat untuk memvonis akan terjadinya resesi. Terlebih dengan kondisi global saat ini yang sangat dinamis dan outlook ekonomi dapat berubah sewaktu-waktu. “Kami melihat saat ini kondisi ekonomi AS masih kuat, didukung oleh tingkat pengeluaran masyarakat, sektor tenaga kerja dan manufaktur yang solid sehingga dapat bertahan menghadapi kenaikan suku bunga The Fed yang agresif dalam jangka pendek,” katanya dalam ulasan Seeking Alpha edisi Juni yang dirilis Senin (20/6).
Baca Juga: IHSG Melemah ke 6.888 di Akhir Sesi I Senin (20/6), Saham Bank Dibeli Asing Di satu sisi, Katarina mengakui bahwa memang tidak semuanya positif. Dia juga melihat terdapat tekanan di beberapa bagian ekonomi AS, terlihat dari sentimen bisnis dan konsumen yang melemah, serta tingkat suku bunga kredit properti yang naik ke level tertinggi sejak 2009. Menurutnya, faktor ini dapat mempengaruhi outlook pertumbuhan ekonomi di AS dan mendorong The Fed untuk menjadi lebih suportif. Secara keseluruhan dirinya melihat ekonomi AS memiliki kemungkinan besar dapat menghindari resesi walau
outlook pertumbuhan ekonomi AS melemah. Oleh karena itu, Katarina memandang The Fed akan bergerak lebih fleksibel, lebih bergantung pada data dalam mencermati perkembangan kondisi ekonomi sebelum memutuskan untuk tetap agresif atau bergerak lebih suportif. Namun, jika melihat dari berbagai komentar ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya, bisa saja The Fed dapat bergerak lebih
dovish. “Namun hal ini dengan syarat beberapa kondisi terpenuhi, seperti inflasi melewati puncak atau mulai mendatar, dan ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terjaga,” imbuhnya.
Baca Juga: Menoropong Kinerja Reksadana di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga Sementara untuk ekonomi Indonesia, Katarina bilang pihaknya memiliki pandangan yang lebih konstruktif terhadap ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik tahun ini seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat, harga komoditas yang meningkat yang suportif bagi kinerja ekspor dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Selain dari pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga diuntungkan oleh tingkat inflasi domestik yang terjaga. Pemerintah memastikan harga BBM Pertalite dan listrik bersubsidi tidak naik tahun ini, serta menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Kebijakan ini akan berdampak positif bagi inflasi domestik dan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga, menjaga momentum pemulihan ekonomi. “Jadi di tengah tantangan inflasi dan pertumbuhan global, Indonesia menawarkan proposisi yang menarik bagi investor karena memberi lindung nilai (
hedge) terhadap inflasi dan bantalan (
buffer) terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi global,” ujar Katarina.
Baca Juga: Bursa Efek Indonesia Bakal Kedatangan Lima Emiten Baru Dengan kondisi makroekonomi domestik masih suportif dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi terjaga, dan neraca perdagangan yang kuat, ia pun masih memandang positif potensi pasar saham Indonesia. Lebih lanjut, kondisi makroekonomi Indonesia secara relatif juga menarik dibandingkan kawasan lain yang harus menghadapi tantangan lonjakan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga potensi arus dana asing masuk ke pasar saham Indonesia juga masih terbuka. “Secara
bottom-up kami juga melihat kinerja emiten Indonesia yang membaik tahun ini seiring dengan kondisi ekonomi domestik yang kondusif. Ekspektasi kami IHSG dapat mencapai level 7600 tahun ini dengan asumsi pertumbuhan laba korporasi sekitar 12%,” tutup Katarina. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati