Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia menolak Tapera



KONTAN.CO.ID -  Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) sepertinya bakal resmi beroperasi di semester 1 ini. Sebab, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat sudah diteken Presiden pada 20 Mei lalu.

Itu artinya, kalangan pekerja dan buruh harus siap-siap membayar tagihan baru untuk perumahan ini. Sebelumnya, pekerja dan buruh sudah dibebani biaya untuk membayar jaminan ketenagakerjaan dan juga jaminan kesehatan melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Regulasi anyar ini melegitimasi perusahaan untuk memungut iuran Tapera dari gaji pekerja atau buruhnya. Selanjutnya disetorkan ke BP Tapera. Besarannya adalah 2,5% dari gaji atau upah dari pekerjanya. Uang tersebut dijadikan sebagai uang simpanan pekerja untuk perumahan.


Meski bertujuan untuk membuka akses perumahan, ternyata tidak semua pekerja dan buruh sepakat dengan aturan ini.  Keberatan disampaikan oleh salah satu kofederasi buruh, yakni Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

Ilhamsyah, Ketua Umum KPBI menyatakan, kebijakan Tapera tersebut merupakan upaya lepas tangan dari negara untuk memberikan kebutuhan dasar rakyatnya. “Setelah tidak mengambil kewajiban dalam sektor kesehatan, kali ini negara menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat,” kata Ilhamsyah, dalam pernyataan tertulis KPBI kepada Kontan.co.id, Jumat (5/6).

Ilhamsyah menjelaskan, dalam konstitusi sudah jelas bahwa tempat tinggal merupakan hak bagi warga negara. Maka itu, hak tersebut tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti yang diinginkan dalam Tapera.“Tapera hadir dalam kerangka menarik dana publik, alih-alih menggunakan sumber daya  negara untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat,” jelas Ilhamsyah.

Dengan demikian, adanya iuran tersebut mengembalikan kewajiban pemberian hunian kepada pekerja, bukan kepada negara. Ilhamsyah mengindikasikan, kebijakan Tapera itu cenderung untuk mengakomodiasi kepentingan korporasi ketimbang pekerja atau buruh.

Selain itu. KPBI juga keberatan dengan penarikan iuran 2,5% tersebut karena akan memukul daya beli pekerja dan buruh, apalagi dalam kondisi pandemic covid-19 saat ini. “Saat sulit seperti sekarang ini,  sepatutnya negara memberikan uluran tangan terbaiknya untuk rakyat, bukan menarik rupiah dari kantong rakyat,” tegas Ilhamsyah.

Sikap ketiga KPBI terkait Tapera adalah, buruknya tata kelola dari BPJS Kesehatan yang dibuktikan oleh defisit keruangannya. Ujung dari tata kelola yang buruk berakibat pada kenaikan biaya iuran BPJS Kesehatan yang kembali dibebankan kepada rakyat.

Melihat kondisi ini, KPBI meminta pemerintah sebaiknya menggunakan sumber daya negara untuk akses perumahan buruh. Caranya bisa dilakukan dengan membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh termasuk perumahan buruhnya.  Menurut KPBI< kawasan industri selama ini hanya berisikan pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan bisnis.

Adapun dana pembiayaan untuk perumahan buruh itu dilakukan oleh swasta atau dari BPJS Ketenagakerjaan. Seperti diketahui, hingga tahun 2019, dana BPJS Ketenagakerjaan menembus 431,9 triliun. Pada tahun yang sama, hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 29,2 triliun rupiah. Dana hasil investasi inilah yang bisa digunakan pemerintah untuk membangun perumahan untuk pekerja dan buruh.

“BPJS Ketenagakerjaan seharusnya mulai mengalihkan invetasi dan menyalurkan keuntungan  kepada pemenuhan langsung kebutuhan buruh. Besaran dana yang ada dan keuntungan yang dihasilkan harus mulai dialihkan, satu diantaranya untuk membangun perumahan gratis atau setidaknya sangat murah untuk buruh,” jelas Ilhamsyah.

Selain untuk perumahan buruh, dana tersebut bisa digunakan untuk rumah sakit dan fasilitas dasar lainnya. Untuk itu, KPBI mendesak pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Bila program ini dilakukan pemerintah, maka buruh mendapatkan kemudahan karena lokasi huniannya terintegrasi dengan tempat kerja. Selain meringankan mobilitas, biaya tempat tinggal, seperti sewa kontrakan atau kosan akan terpangkas tajam. Begitu pula dengan ongkos transportasi buruh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri