Konflik AS-Korut, indeks obligasi cetak rekor



KONTAN.CO.ID - Gejolak geopolitik di Semenanjung Korea dapat menjadi berkah bagi pasar obligasi dalam negeri dalam jangka panjang. Apalagi kinerja obligasi Indonesia tergolong mumpuni di tahun ini.

Tengok saja pergerakan Indonesia Composite Bond Index (ICBI). Indeks obligasi yang dihimpun Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) ini kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Selasa (15/8) di level 229,28. Naiknya ICBI mencerminkan total return obligasi pemerintah dan obligasi korporasi secara umum dalam tren kenaikan. Sepanjang tahun ini, indeks obligasi Indonesia telah tumbuh 9,96%.

Kinerja obligasi Indonesia positif terutama karena didorong kenaikan harga surat berharga negara. Secara year to date (ytd), obligasi pemerintah mencatatkan pertumbuhan 10,18%. Di periode yang sama, kinerja obligasi korporasi dalam negeri pun naik sekitar 8,42%.


Cerahnya kinerja obligasi pemerintah disebabkan beberapa faktor. Pertama, pengaruh kenaikan peringkat utang Indonesia dari Standard & Poors menjadi investment grade pada Mei lalu.

Kedua, aliran dana asing yang masuk ke surat utang negara (SUN) cukup deras. Buktinya, pada Senin (14/8), kepemilikan asing di SUN mencapai Rp 781,56 triliun.

Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ifan Mohamad Ihsan menambahkan, jika kondisi ekonomi dan politik bisa terus dipertahankan, pasar obligasi Indonesia bakal tetap menarik. Apalagi saat ini imbal hasil surat utang negara (SUN) masih lebih menarik dibanding negara-negara emerging market lainnya.

Yield SUN seri benchmark masih mencapai 6,85%. Angka ini jadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Nah, dengan peringkat utang yang sudah masuk kategori investment grade, obligasi Indonesia lebih dilirik ketimbang negara di kawasan.

Investor lokal masuk

Namun, lantaran perseteruan Amerika Serikat dan Korea Utara masih panas, Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra melihat, ada potensi investor melarikan dananya dari negara emerging market dan memilih safe haven. "Investor memanfaatkan ketegangan untuk aksi profit taking, karena sejak akhir Juli harga sudah naik," jelas dia pada KONTAN, Selasa (15/8).

Tapi dengan kondisi fundamental ekonomi yang cukup mumpuni dan kondisi politik yang cenderung stabil, pasar obligasi dalam negeri diperkirakan tetap tumbuh. Bahkan, jika terjadi koreksi, investor bisa melakukan akumulasi di harga murah. Apalagi, surat utang, khususnya yang dikeluarkan pemerintah, memiliki risiko lebih mini daripada produk investasi lainnya, yakni deposito dan saham.

Selain itu, secara umum, dampak dari perseteruan AS dan Korea Utara justru terasa paling kecil di pasar modal Asia Tenggara. Menurut data Bloomberg, dampak konflik antara Donald Trump dan Kim Jong-Un paling terasa di negara-negara Asia bagian utara, seperti China, Korea Selatan dan India.

Karena itu, para analis juga masih optimistis prospek pasar obligasi dalam negeri masih tetap positif. Dana asing juga masih akan tetap masuk. "Indonesia malah diuntungkan karena investor masih akan melihat peluang kita, saat ada koreksi, asing juga akan melihat ini peluang untuk masuk lagi untuk mendapatkan yield yang lebih bagus," kata Made.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie