NEW YORK. Meningkatnya kekerasan di Libya menyeret jatuh bursa saham Amerika Serikat (AS). Kekerasan di kawasan tersebut telah menyurutkan optimisme bakal berlanjutnya reli pasar saham AS hingga tahun yang ketiga.Indeks Standard & Poor's 500 melanjutkan koreksi hari yang ketiga, dengan ditutup jatuh 0,1% ke level 1.320,02 pada pukul 4 sore di New York. Sementara, Dow Jones Industrial Average melemah kurang dari dari 0,1% ke posisi 12.213,09.Beberapa saham yang menyeret indeks, yaitu Caterpillar Inc. dan DuPont Co. yang masing-masing turun 1%. Adapun, Texas Instruments Inc. merosot 3,1% setelah turunnya proyeksi laba perusahaan pembuat chip terbesar ini. Sementara, saham yang masih berhasil melaju adalah International Business Machines Corp yang naik 2,2%, setelah Deutsche Bank AG menggangkat proyeksi sahamnya.S & P 500 sudah jatuh 1,7% dari level tertinggi tahun ini di 18 Februari, karena lonjakan harga minyak di tengah kerusuhan di Libya dan Timur Tengah. Padahal, patokan bursa saham AS ini sedang berusaha keluar dari posisi bearish sejak dua tahun lalu, seiring stimulus pemerintah dan membaiknya pendapatan perusahaan selama delapan kuartal berturut-turut.Pejabat Libyan Emirates Oil Refining Co. mengatakan, kilang minyak terbesar di Libya, Ras Lanuf, ditutup karena pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Namun, di New York, semalam, harga minyak WTI turun 0,6% ke level US$ 104,38 per barel, karena kenaikan cadangan minyak AS sedikit memudarkan kekhawatirkan akan kekerasan di Libya.Direktur strategi pasar RBC Wealth Management Philip Dow menyebut, pasar cemas terhadap risiko geopolitik. Jika investor memperhatikan setiap ketidakpastian jangka pendek yang berlangsung dalam dua tahun terakhir, maka akan melewatkan langkah besar pemulihan pasar saham. "Namun, tidak ada cukup bukti yang bisa menggagalkan pemulihan ekonomi. Bursa masih ekspansi," ujarnya. "Kecenderungan tren umum pasar saham akan lanjut bullish, meskipun meningkatnya kekhawatiran inflasi, utang, konflik global, juga naiknya suku bunga dan harga minyak," imbuh Kully Samra dari Charles Schwab Corp.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Konflik Libya menyurutkan optimisme pasar, Dow Jones dan S&P terbenam
NEW YORK. Meningkatnya kekerasan di Libya menyeret jatuh bursa saham Amerika Serikat (AS). Kekerasan di kawasan tersebut telah menyurutkan optimisme bakal berlanjutnya reli pasar saham AS hingga tahun yang ketiga.Indeks Standard & Poor's 500 melanjutkan koreksi hari yang ketiga, dengan ditutup jatuh 0,1% ke level 1.320,02 pada pukul 4 sore di New York. Sementara, Dow Jones Industrial Average melemah kurang dari dari 0,1% ke posisi 12.213,09.Beberapa saham yang menyeret indeks, yaitu Caterpillar Inc. dan DuPont Co. yang masing-masing turun 1%. Adapun, Texas Instruments Inc. merosot 3,1% setelah turunnya proyeksi laba perusahaan pembuat chip terbesar ini. Sementara, saham yang masih berhasil melaju adalah International Business Machines Corp yang naik 2,2%, setelah Deutsche Bank AG menggangkat proyeksi sahamnya.S & P 500 sudah jatuh 1,7% dari level tertinggi tahun ini di 18 Februari, karena lonjakan harga minyak di tengah kerusuhan di Libya dan Timur Tengah. Padahal, patokan bursa saham AS ini sedang berusaha keluar dari posisi bearish sejak dua tahun lalu, seiring stimulus pemerintah dan membaiknya pendapatan perusahaan selama delapan kuartal berturut-turut.Pejabat Libyan Emirates Oil Refining Co. mengatakan, kilang minyak terbesar di Libya, Ras Lanuf, ditutup karena pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Namun, di New York, semalam, harga minyak WTI turun 0,6% ke level US$ 104,38 per barel, karena kenaikan cadangan minyak AS sedikit memudarkan kekhawatirkan akan kekerasan di Libya.Direktur strategi pasar RBC Wealth Management Philip Dow menyebut, pasar cemas terhadap risiko geopolitik. Jika investor memperhatikan setiap ketidakpastian jangka pendek yang berlangsung dalam dua tahun terakhir, maka akan melewatkan langkah besar pemulihan pasar saham. "Namun, tidak ada cukup bukti yang bisa menggagalkan pemulihan ekonomi. Bursa masih ekspansi," ujarnya. "Kecenderungan tren umum pasar saham akan lanjut bullish, meskipun meningkatnya kekhawatiran inflasi, utang, konflik global, juga naiknya suku bunga dan harga minyak," imbuh Kully Samra dari Charles Schwab Corp.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News