KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hampir 400 warga negara Indonesia (WNI) berhasil kembali ke tenah air setelah dievakuasi dari konflik Sudan. Namun masih ada sekitar 100 WNI yang berada di tengah konflik Sudan. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengumumkan sebanyak 385 WNI yang dievakuasi dari Sudan mendarat di tanah air pada Jumat 28 April 2023, pagi sekitar pukul 05.46 WIB. Evakuasi WNI dari Sudan menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA 991. Evakuasi WNI dari Sudan tersebut terdiri dari 248 perempuan dan 137 laki-laki yang 43 di antaranya adalah anak-anak. “Ini adalah ketibaan tahap pertama di tanah air WNI yang di evakuasi dari Sudan melalui Jeddah. Mengingat perjalanan evacuees sangat panjang dan melelahkan, maka setiba di Jakarta mereka akan diinapkan sementara di Asrama Haji Pondok Gede sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing,” ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi, dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (28/04/2023).
Menlu menyampaikan, jajaran pemerintah terkait baik pusat dan daerah telah menyiapkan sejumlah layanan bagi para WNI yang dievakuasi hingga kepulangan ke daerah mereka masing-masing. “Kemenko PMK [Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan] dan K/L [kementerian/lembaga] terkait telah menyiapkan layanan mulai pemeriksaan kesehatan hingga layanan konseling. Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan pemda [pemerintah daerah] terkait akan memfasilitasi kepulangan ke daerah masing-masing,” kata Menlu.
Baca Juga: Perang Pecah di Sudan, Apa Penyebab Utamanya? Lebih lanjut Retno menyatakan, pemerintah akan melakukan pemulangan WNI yang dievakuasi dari Sudan ke tanah air dalam tiga bertahap. Pemulangan tahap kedua akan dilakukan 29 April dan pemulangan tahap ketiga sekaligus menutup seluruh proses evakuasi akan dilakukan 30 April. “Per saat ini, tinggal 111 orang WNI yang masih berada di Kota Port Sudan. Hari ini mereka akan diterbangkan ke Jeddah dengan pesawat TNI AU,” ujarnya. Menlu menjelaskan, evakuasi kali ini dilakukan dengan menggunakan pola evakuasi secara estafet. Evakuasi WNI dari konflik Sudan dimulai dari jalan darat, dari Khartoum ke Port Sudan. Kemudian evakuasi WNI dari Port Sudan ke Jeddah baik via laut maupun via udara, dan selanjutnya dipulangkan secara bertahap ke Indonesia. “Pola evakuasi ini kita jalankan untuk merespons situasi lapangan yang sangat cair dan dinamis dan dengan tujuan untuk segera mengeluarkan WNI dari wilayah konflik yang berbahaya. Alhamdullillah pola ini berjalan dengan lancar dan kita bahkan membantu beberapa WNA [warga negara asing] untuk ikut dalam evakuasi kita,” ujarnya. Menutup pernyataan, Retno menyampaikan rasa syukur karena di tengah berbagai tantangan dan kesulitan, evakuasi dari Sudan kali ini dapat dilakukan dengan lancar. Hal ini, lanjut Retno, tidak terlepas dari dukungan dan kerja sama banyak pihak. “Kami ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Panglima TNI, Kemenko PMK, Kemensos [Kementerian Sosial], Kemenag [Kementerian Agama], Kemenhub [Kementerian Perhubungan], Kemendagri [Kementerian Dalam Negeri], BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana] dan juga pemda- pemda terkait. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan pada Otoritas dan pihak-pihak lain di Sudan, Pemerintah Arab Saudi, dan Perwakilan RI di Khartoum, Riyadh, Jeddah, Kairo dan Adis Ababa,” tandasnya. Dalam keterangan pers usai rapat terbatas (ratas), Kamis (27/04/2023), di Jakarta, Menlu menyampaikan bahwa pemerintah telah mengevakuasi sebanyak 897 WNI dari Kota Khartoum, Sudan. Evakuasi tersebut dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama sebanyak 569 orang dan tahap kedua 328 orang. Konflik Sudan
Diberitakan BBC Selasa (25/4/2023), penyebab konflik Sudan adalah buntut kudeta tahun 2021. Sejak kudeta, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua orang petinggi militer. Mereka adalah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala angkatan bersenjata dan presiden negara itu dan wakilnya serta pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal dengan nama Hemedti. Masalah utama adalah rencana untuk memasukkan sekitar 100.000 Rapid Support Forces (RSF) ke dalam tubuh tentara. Kedua jenderal berbeda pendapat, terkait siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto