Kongkalikong Politik dan Pemburu Rente



PengantarTulisan ini telah dimuat di Harian KONTAN, Jumat, 28 Maret 2014. Redaksi merasa perlu menurunkan tulisan ini di Kontan.co.id agar semakin banyak masyarakat dapat mengakses pendapat dan gagasan yang disampaikan oleh Arman Boy Manullang, pengamat dan praktisi pasar modal. Selamat membaca.Kongkalikong Politik & Pemburu Rente

Oleh: Arman Boy Manullang, pengamat dan praktisi pasar modal.Dua tahun lalu saya ikut menyusun in-depth report terhadap 20 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes. Yang menarik perhatian saya saat itu adalah ternyata sangat susah ditemukan di antara 20 nama itu yang tidak memiliki koneksi politik level atas. Tepatnya saya ingin mengatakan bahwa tidak ada di antara 20 nama itu yang tidak terkoneksi ke politik.

Tidak terlalu mengejutkan pula bila Majalah The Economist edisi 15 Maret 2014 menempatkan Indonesia di peringkat sepuluh dalam the crony-capitalism index.


Era booming ekonomi Indonesia memang tampaknya hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pada masa Orde Baru, mayoritas sektor usaha dimonopoli oleh pengusaha yang dekat dengan rezim. Sejak menjalankan kekuasaan diktator di Indonesia tahun 1960-an, Soeharto berhasil mentransfer harta kekayaan negara ke dalam lingkaran kekuasaan.

George Aditjondro, yang mengabdikan hidupnya menelisik kekuasaan oligarki Orde Baru, memperkirakan jumlah kekayaan Soeharto (ia menyebut dengan istilah Suharto Inc.) mencapai US$ 25 miliar, jauh lebih besar dari perkiraan Majalah Forbes dan Majalah Time.

Pada era berikutnya, sesudah kekuasaan Soeharto tumbang, keadaan tidak jauh berbeda. Aset sitaan BLBI banyak yang dijual dengan harga diskon kepada para pengusaha yang memiliki koneksi politik.

Hal itu juga belum banyak berubah pada era pemerintahan sepuluh tahun terakhir. Insider businessman tetap tampil menguasai sumber daya alam. Dan mayoritas orang-orang itu adalah wajah-wajah lama pening-galan era Soeharto, tetapi dengan aktor yang berbeda tampil depan.

Sektor bisnis yang paling rawan menjadi lokasi suburnya aksi kroni menurut majalah The Economist juga relatif sama dengan yang terjadi di Indonesia. Sektor-sektor yang seharusnya milik publik dan dikuasai oleh negara menjadi tempat berkembangnya praktik ini.

Industri pertambangan adalah yang paling kasat mata di Indonesia. Nyaris tak ada pengusaha tambang yang tidak memiliki koneksi politik. Koneksi inilah yang kemudian menjalankan peran sebagai mata-mata terhadap pembuat kebijakan.

Cara paling mudah untuk melihat ko-neksi suatu perusahaan ke politik adalah melihat jajaran komisaris yang duduk di perusahaan. Banyak perusahaan besar yang mengelola risiko dengan menempatkan orang kuat yang memiliki koneksi ke politik sebagai komisaris sebagai pemakan gaji buta.

Menyedihkan memang, 16 tahun sesudah Reformasi, negara ini masih dipenuhi dengan pembuat kebijakan yang korup dan pebisnis pencari rente yang sedang mengumpulkan kekayaan.

Menuju penurunan

Praktik kongkalikong pengusaha dengan politik ini adalah sangat tidak fair dan akan merusak mekanisme pasar. Keseimbangan jangka panjang yang terbentuk tidak mencerminkan ekuilibrium ekonomi yang sebenarnya. Kompetisi hanya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki koneksi baik. Akibatnya yang dirugikan adalah konsumen yang akan dibebankan harga tidak wajar. Daya saing Indonesia akan menjadi rendah di pasar global.

Sebab itu, jangan heran jika Anda harus membayar Rp 600 juta untuk sepetak rumah tipe 36 di daerah komuter Jakarta. Ini tak lepas dari aksi para pemburu rente di bidang penguasaan lahan. Mereka ini adalah pengusaha properti yang menetapkan harga semaunya.

Mancur Olson telah melakukan penelusuran historis tentang konsekuensi dari perbuatan pemburu rente ini dalam buku The Rise and Decline of Nations. Dia berargumen, semakin suatu negara didominasi oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan yang terorganisir, negara itu akan semakin kehilangan kekuatan ekonomi dan sedang menuju penurunan dalam jangka panjang.

Ekonom dari Columbia University Joseph Stiglitz berpendapat bahwa pemburu rente adalah kontributor besar dalam ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kekayaan haram melalui lobi-lobi terhadap kebijakan pemerintah. Tak heran bila kekayaan hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang atau golongan.

Namun di satu sisi, berbisnis itu memang susah dan penuh dengan risiko ketidakpastian. Akan sangat besar risiko yang ditanggung oleh pengusaha ketika tidak memiliki koneksi politik. Intervensi terhadap kebijakan kadang dibutuhkan melalui koneksi yang dimiliki itu. Tentunya akan ada penyuapan di sana.

Dari rasionalitas bisnis, tindakan para pebisnis ini memang sangat masuk akal. Saya contohkan, misalnya, daripada membayar pajak Rp 500 miliar, lebih baik menyuap petugas pajak sebesar Rp 50 miliar.

Mungkin ini adalah praktik yang lumrah dalam bisnis, bukan hanya di Indonesia. Tapi itu tidaklah layak untuk dijadikan alasan pembenaran atas suatu praktik kongkalikong pengusaha dengan politik.

Sampai sekarang saya juga masih berpikir bahwa memang mungkin mustahil memiliki perusahaan besar jika tidak memiliki koneksi politik. Atau mungkin saja memang tidak ada cara untuk menjadi kaya dengan jujur. Semoga saja saya salah!   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris