Konsep pungutan dana batubara masih buram



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pencabutan harga batubara khusus domestic market obligation (DMO) untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih buram. Pemerintah juga belum menetapkan skema pungutan dana dari pengusaha batubara yang kemudian dikelola oleh badan khusus.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyatakan pengusaha batubara akan dikutip US$ 3 per ton. Dana itulah yang nanti untuk subsidi PLN agar tidak membayar mahal harga batubara dari pengusaha.

Nilai pungutan US$ 3 per ton, menurut Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi, tidak masuk akal. Sebab, beban biaya PLN diperkirakan sebesar US$ 3,68 miliar pada 2018 jika memakai harga pasar batubara saat ini.


Secara sederhana, perhitungannya adalah 106,25 juta (kebutuhan batubara PLN) dikalikan US$ 104,65 per ton (harga HBA Juli 2018). Kemudian hasilnya dikurangi dengan kemampuan PLN, yakni 106,25 juta ton dikalikan US$ 70 per ton (harga khusus PLN). Maka, selisih dari harga pasar batubara yang harus dibayarkan oleh PLN mencapai US$ 3,68 miliar.

Sedangkan iuran pengusaha US$ 3 per ton hanya berpotensi terkumpul US$ 1,28 miliar, yakni hasil dari 425 juta ton (produksi nasional 2018) dikalikan US$ 3 per ton. "Jumlah iuran itu tak akan cukup, masih ada selisih yang jadi beban PLN sebesar US$ 2,40 miliar (US$ 3,68 miliarUS$ 1,28 miliar)," ungkap Fahmy kepada KONTAN, Minggu (29/7).

Para pengusaha batubara juga meminta kepastian soal kebijakan di sektor batubara. "Kami belum tahu, apakah ini jangka panjang atau tidak," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, Jumat (27/7).

Dia mengakui nanti ada badan khusus pengelola dana batubara yang akan menanggung selisih harga pasar. Misalnya, PLN hanya sanggup membayar US$ 70 per ton, maka dana kelolaan itu akan menutupi kekurangan yang akan dibayarkan ke pengusaha. "Saya kira ini jalan tengah," imbuh Hendra.

Dalam sepekan ini, APBI akan menggelar focus group discussion (FGD) dengan berbagai pihak untuk merumuskan skema pendanaan itu. "Terus terang kami kaget, tiba-tiba pemerintah memakai konsep kami. Tapi soal instrumennya, kami belum tahu, apakah dari pajak ekspor atau royalti?" kata Hendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie