KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ekonom menyatakan konsolidasi dapat menjadi salah satu solusi mendorong pertumbuhan fungsi intermediasi perbankan Indonesia yang dinilai masih rendah. Selain itu, konsolidasi juga dapat memperkuat perbankan di tengah persaingan yang sangat ketat. David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, menyatakan konsolidasi diperlukan karena jumlah perbankan di Indonesia terlalu banyak. Saat ini terdapat lebih dari 100 bank, belum termasuk Bank Perkreditan Rakyat. Namun, sebagian besar bank bermodal sangat kecil. “Jika ada masalah likuiditas menimpa bank bermodal kecil sangat rentan mengganggu stabilitas ekonomi nasional,” kata David. Idealnya jumlah bank di Indonesia adalah 30-50 bank, tak jauh beda dengan Malaysia yang di bawah 10 bank dan Singapura sekitar tiga bank.
Dari sisi kompetisi, bank juga mampu bersaing jika memiliki modal kuat. Dengan modal besar, bank bisa mengubah segmen bisnis agar lebih efisien, sehingga pendapatannya naik. Apalagi, perbankan Indonesia masih memiliki rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) tinggi yakni sebesar 79,59%. Konsolidasi bank diharapkan dapat menurunkan rasio BOPO. David menambahkan, selain mendorong intermediasi bank, konsolidasi diperlukan agar perbankan nasional mampu bersaing di ASEAN. Konsolidasi mendorong perbankan Indonesia mampu menjadi Qualified ASEAN Bank (QAB) sehingga menjadi bank-bank terbaik Asia Tenggara. Sejauh ini, fungsi intermediasi bank di Indonesia yang tercermin dari penyaluran kredit masih rendah. Bank Dunia mencatat rasio penyaluran kredit oleh bank kepada sektor swasta terhadap produk domestik bruto (
domestic credit for private sector to GDP ratio) Indonesia tahun 2017 baru mencapai 32,42%. Angka ini terendah dibandingkan negara ASEAN lain seperti Vietnam (130,67%), Singapura (128,21%), Thailand (111,61%), dan Filipina (47,75%). Bank Indonesia mencatat sepanjang 2017, kredit hanya tumbuh 8,24% (
year-on-year), lebih rendah dibandingkan ekspektasi pemerintah sebesar 9%-12%. Salah satu penyebabnya adalah perbankan yang cenderung konservatif dalam ekspansi akibat permodalan dan kinerja yang kurang efisien. Padahal, pemerintah berharap penyaluran kredit perbankan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 sebesar 5,07%, tertinggi sejak tahun 2014. Namun, level ini berada di bawah target 5,2%. Sejauh ini, beberapa bank telah menyampaikan rencana konsolidasi. Yang terbaru, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) pada Selasa (2/8) mempublikasikan rencana merger kedua bank sebagai bagian keterbukaan informasi konsolidasi dua anak usaha Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) di Indonesia. SMBC merupakan pemegang saham pengendali di BTPN dan SMBCI dengan porsi kepemilikan masing-masing 40% dan 98,48%. Seluruh dokumen rencana merger akan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui BTPN akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.
“Merger akan melahirkan bank baru yang lebih besar dan lebih kuat sehingga dapat lebih berperan memenuhi kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat di berbagai sektor di Indonesia, baik ritel maupun wholesale,” kata Jerry Ng, Direktur Utama BTPN dalam siaran persnya. Selama 10 tahun terakhir, BTPN mengembangkan sejumlah bisnis baru, termasuk melahirkan inovasi produk dan layanan berbasis digital seperti Jenius dan BTPN Wow!. Melalui diversifikasi tersebut, publik tidak sekadar mengenal BTPN sebagai bank yang melayani para pensiunan, tetapi juga bank yang melayani pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, masyarakat umum, hingga para digital savvy secara inovatif. Paul Sutaryono, pengamat perbankan menyatakan konsolidasi akan membuat perbankan menjadi lebih kuat. Merger BTPN-SMBCI, misalnya, akan menaikkan modal inti perusahaan secara signifikan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat