Konsolidasi industri telco, masih feasible-kah?



JAKARTA. Proses konsolidasi industri telekomunikasi yang diharapkan oleh pemerintah patut dipertanyakan kembali.

Pasalnya, kendati menghabiskan biaya yang sangat besar, dampaknya terhadap peningkatan layanan kepada konsumen dan penguatan industri, justru tidak maksimal.

Rencana akuisisi merger XL-Axis jadi contoh kasus yang tepat.


Berdasarkan perjanjian CSPA, XL akan membeli Axis sebesar USD 865 juta atau sekitar Rp9,7 triliun. Sementara, riset JP Morgan dan Bahana Securities mengatakan Axis dalam 2 tahun ke depan masih akan menanggung beban kerugian rata-rata Rp 3,7 triliun per tahun.

Total akumulasi kerugian dalam dua tahun ke depan mencapai Rp 7,4 triliun. Dengan demikian, total pengeluaran XL untuk mengakuisi AXIS sekitar Rp 17,1 triliun.

Jumlah pembayaran tersebut sekitar 40% dari nilai kapitalisasi pasar XL yang mencapai Rp 43,95 triliun, bahkan 90% dari nilai kapitalisasi pasar PT Indosat Tbk yang sebesar Rp 19,02 triliun.

XL akan berkorban besar untuk menanggung beban Axis dalam dua tahun ke depan.

Meski secara jangka panjang tambahan spektrum akan memberikan manfaat bagi XL dalam memperkuat proyeksi pendapatan usaha, namun kondisi ini akan menjadi tidak maksimal jika XL diminta mengembalikan spektrum frekuensi hingga sebanyak 10MHz.

Berdasarkan perkembangan terakhir, pemerintah berencana meminta XL mengembalikan spektrum frekuensi Axis hingga sebanyak 10 MHz. Hal ini akan memangkas keuntungan yang diperoleh konsumen dan industri dari proses konsolidasi yang seharusnya mendorong peningkatan kualitas layanan dan penyehatan industri.

Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan, pengambilan frekuensi 1800 MHz, sebaiknya mempertimbangkan kondisi akhir kepemilikan frekuensi selepas konsolidasi.

Terutama syarat minimal untuk penyelenggaraan teknologi long term evolution (LTE).

“LTE itu merupakan masa depan,” katanya, beberapa waktu lalu.

Menurut Nonot, jika konsolidasi teralisasi, XL dan Axis akan memiliki total frekuensi selebar 22,5 MHz di spektrum 1800 MHz.

Adapun di spektrum 2,1 MHz gabungan frekuensi XL dan Axis mencapai 25 MHz.

Pardomuan Sihombing, Sekjen Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) menilai XL menjadi pionir dalam upaya menciptakan konsolidasi industri telekomunikasi yang juga menjadi program pemerintah.

Akuisisi XL-Axis ini sangat penting sebagai benchmark bagi industri dan pemerintah untuk mendorong konsolidasi berikutnya antar operator yang jumlahnya masih terlalu banyak ini.

“Dengan biaya demikian besar, sementara benefit yang diterima oleh pelaku usaha dan konsumen terbatas, tentunya akan menghambat upaya untuk menciptakan konsolidasi lanjutan. Pelaku usaha lain akan berhitung ulang untuk berkonsolidasi jika dampaknya tidak menguntungkan perusahaan dan konsumen,” kata Pardomuan, di Jakarta, Jumat (22/11/2013).

Pardomuan menyarankan agar pemerintah memberikan kesempatan kepada XL untuk memanfaatkan spektrum Axis sesuai kebutuhannya.

Toh diantara tiga besar operator seluler yaitu Telkomsel, Indosat dan XL, spektrum frekuensi milik XL paling kecil dan sudah tidak mencukupi kapasitas dan kualitas minimum pelayanan.

Sebagai regulator, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi pelaku usaha, menciptakan kepastian usaha dan yang lebih utama, memastikan industri yang sehat dan berkesinambungan.

Jika sebelumnya akuisisi FREN oleh Smart dan Satelindo oleh Indosat berjalan lancar, semestinya XL juga harus mendapat perlakuan yang sama.

Bila pemerintah meminta pengembalian spektrum sebanyak 5 MHz, maka nilai tersebut sudah memangkas 20% dari total value Axis.

Bila kemudian pemerintah meminta tambahan 5 MHz untuk dikembalikan lagi, berarti 40% value AXIS sudah hilang.

"Kebijakan seperti ini sangat dikhawatirkan akan membuat operator lain tidak akan mau untuk melakukan konsolidasi. Akan semakin banyak operator kecil yang terus bleeding, tanpa ada yang berani ‘menolong’ karena ongkosnya terlalu besar. Hal itu tentunya akan sangat merugikan industri telekomunikasi dan konsumen kita," jelasnya. (Tribunnews.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan