Konsumen Keluhkan Proyek Meikarta, Ini Saran Pemerintah Agar Konsumen Tidak Rugi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik konsumen dengan pengembang mega proyek Meikarta kembali memanas. Pemerintah juga angkat bicara terkait keresahan konsumen proyek Meikarta tersebut.

Diberitakan sebelumnya, kisruh proyek Meikarta kembali mencuat ke permukaan. Para konsumen memprotes lantaran tak kunjung mendapatkan unit properti yang telah dijanjikan pengembang proyek Meikarta.

Sebagai pengingat, Meikarta adalah megaproyek buatan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) yang diperkenalkan pertama kali pada 2017. Proyek ini bernilai investasi mencapai Rp 278 triliun dan dibangun di atas lahan 1,5 juta meter persegi.


Proyek Meikarta direncanakan akan memiliki 100 gedung pencakar langit dengan jumlah lantai berkisar 35-46 lantai. Gedung-gedung tersebut akan terbagi untuk hunian sebanyak 250.000 unit, perkantoran, hotel bintang 5, pusat perbelanjaan, dan area komersial. Meikarta juga akan dilengkapi oleh fasilitas seperti pusat kesehatan, pusat pendidikan, dan tempat ibadah.

Baca Juga: Begini Respons Grup Lippo Terkait Kisruh Apartemen Mikarta

Namun, dalam perjalanannya, proyek Meikarta menghadapi berbagai masalah. Bahkan, Meikarta sempat tersandung kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat daerah hingga salah satu direksi Lippo Group.

Kali ini, para konsumen kembali memprotes pihak Meikarta. Mereka menilai, Meikarta telah melakukan wanprestasi serah terima unit, karena telah melewati batas waktu grace period serah terima. “Mereka (Meikarta) juga melakukan perubahan kesepakatan secara sepihak untuk beberapa hal,” ujar Ketua Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Aep Mulyana, Selasa (13/12).

Meikarta sempat mengklaim telah melakukan serah terima unit sebanyak 1.800 unit per Desember 2022. Tetapi, banyak konsumen yang mengeluh karena unit yang diterima tidak sempurna atau tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Para konsumen juga mengeluhkan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) di Meikarta yang terlampau tinggi dan tidak sesuai dengan kegiatan pemasaran terdahulu.

Aep pun menilai, jumlah unit yang diserahterimakan oleh Meikarta masih terlalu kecil. Mengingat pengembang proyek Meikarta tersebut menargetkan akan membangun 250.000 unit.

Ditambah lagi, konsumen proyek Meikarta masih terus diwajibkan membayar cicilan tanpa ada kepastian untuk memperoleh hak sebagaimana mestinya. “Alhasil, banyak dari kami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan yang lebih utama,” tukas dia.

Aep menyebut bahwa pengembang proyek Meikarta diklaim telah menjual 100.000—130.000 unit properti hunian. Apabila mengacu pada harga unit termurah di tahun 2017 yang dipatok sebesar Rp 127 juta per unit, maka total uang yang sudah diterima pihak Meikarta mencapai kisaran Rp 12,7 triliun-Rp 16,51 triliun.

Angka ini bisa menjadi jumlah kerugian yang ditanggung konsumen jika proyek Meikarta mangkrak. Kerugian ini dapat bertambah karena pada dasarnya harga unit di Meikarta bervariasi.

Lantas, ratusan konsumen proyek Meikarta melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senin (12/12) lalu. Mereka menuntut pengembalian kewajiban dari pihak pengembang proyek Meikarta sebagai bentuk ganti rugi, karena masih banyak unit milik konsumen yang belum dibangun oleh perusahaan tersebut.

Baca Juga: Para Pembeli Meikarta Mengamuk, Grup Lippo Angkat Bicara

Komunitas Peduli Konsumen Meikarta juga mendorong parlemen untuk menggelar rapat dengar pendapat sebagai tindak lanjut dari beberapa audiensi yang sudah dilakukan sebelumnya. Aep mengaku pihaknya telah diterima oleh perwakilan Komisi V DPR RI.

Pihak Komisi V juga telah meneruskan informasi tersebut kepada Komisi III dan Komisi XI. Bukan mustahil DPR akan membentuk panitia khusus (pansus) proyek Meikarta untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Kami siap memaparkan setiap hal secara detail kepada DPR RI,” imbuh Aep.

Untuk saat ini, para konsumen proyek Meikarta masih terus berkoordinasi dengan pihak sekretariat Komisi terkait di DPR, sembari menunggu pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat. Pihak konsumen juga berkoordinasi dengan kuasa hukum apabila harus menghadapi langkah pengadilan.

Tanggapan Manajemen Lippo Cikarang

KONTAN mencoba mengonfirmasi masalah Meikarta kepada Manajemen Lippo Cikarang, namun belum mendapat jawaban hingga tulisan ini dibuat. Terlepas dari itu, Manajemen LPCK pernah memberi penjelasan melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) tertanggal 8 Desember 2022.

LPCK menyebut bahwa anak usahanya yakni PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta, senantiasa memenuhi komitmennya dan menghormati Putusan Homologasi yang telah disahkan berdasarkan Putusan No. 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jakarta Pusat tertanggal 18 Desember 2020 yang berkekuatan hukum tetap. Putusan Homologasi tersebut bersifat mengikat bagi MSU dan seluruh krediturnya, termasuk pembeli.

MSU juga sudah menginformasikan hasil Putusan Homologasi ini kepada seluruh pembeli Meikarta yang belum menerima unit, di mana pelaksanaan hasil putusan sudah dijalankan dalam bentuk serah terima unit secara bertahap sejak Maret 2021.

Di sisi lain, beberapa pembeli telah berupaya menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata, namun pengadilan tetap memutuskan bahwa Putusan Homologasi harus dihormati dan dilaksanakan oleh para pihak.

Baca Juga: Sengketa Pengembang dan Pembeli Apartemen Meikarta Memanas Lagi, Ada Apa?

Berdasarkan Putusan Homologasi, MSU akan melakukan penyerahan unit secara bertahap sampai tahun 2027. Sejak Maret 2021 hingga saat ini, MSU telah menyerahkan sekitar 1.800 unit Meikarta kepada pembeli.

“MSU tetap berkomitmen untuk menyerahkan unit secara bertahap sampai batas waktu yang ditetapkan dalam Putusan Homologasi,” tulis Veronika Sitepu, Corporate Secretary Lippo Cikarang dalam keterbukaan informasi, Kamis (8/12).

Dia juga menjelaskan, saat ini proyek Meikarta sedang dalam tahap pengembangan District 1, District 2, dan District 3. Sebanyak 28 tower sudah pada tahap penyelesaian akhir pembangunan, sedangkan 8 tower lainnya sudah dilakukan topping off dan sedang dalam tahap penyelesaian façade.

Lippo Cikarang juga mengklarifikasi terkait adanya isu mengenai penawaran relokasi berbayar kepada konsumen proyek Meikarta. Veronika pun menyebut bahwa berdasarkan informasi yang diterima dari MSU, relokasi berbayar merupakan opsi yang ditawarkan kepada pembeli yang bersedia dan ingin mendapatkan unit yang sudah tersedia atau bisa tersedia lebih awal.

Saran pemerintah untuk konsumen proyek Meikarta

Dilansir dari Kompas.com, Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur menyarankan para konsumen proyek Meikarta tersebut untuk segera mengadukan permasalahannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Penyelesaian sengketa melalui BPSK merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi. BPKN hadir untuk merespons dinamika dan kebutuhan perlindungan konsumen yang berkembang dengan cepat di masyarakat.

"Sebaiknya konsumen segera mengadukan permasalahan kepada BPSK atau BPKN sehingga bisa ditindaklanjuti. Biasanya kalau terkait permasalahan properti, dalam hal ini apartemen, kedua institusi itu berkonsultasi dengan kami (Kementerian PUPR)," tutur Fitrah kepada Kompas.com, Selasa (13/12/2022).

Fitrah merekomendasikan konsumen proyek Meikarta untuk mengadu kepada BPSK dan BPKN karena keduanya memiliki sejumlah perangkat aturan berupa Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Selain itu, kedua institusi ini akan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) setempat yang mengeluarkan perizinan kepada proyek properti terkait. "Namun, sampai sekarang belum ada pengaduan resmi terkait kasus Meikarta ini yang sampai ke kami," imbuh Fitrah.

Kendati demikian, Pemerintah menjamin akan melakukan tindakan aktif apabila ada pengaduan konsumen proyek Meikarta kepada Kementerian PUPR dengan menyampaikan dokumen-dokumen resmi, seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan bukti pembayaran lainnya. Dari dokumen-dokumen ini bisa ditelusuri kronologinya secara jelas dan terang sehingga Pemerintah bisa memfasilitasi untuk dicari jalan keluarnya.

Fitrah mengatakan, sebelumnya Kementerian PUPR telah menerima pengaduan sengketa properti antara konsumen dan pengembang. Kebanyakan terkait dengan pengelolaan apartemen. "Saya ingat, ada satu apartemen di Bandung. Konsumen tidak bisa mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSR) karena sebagian unit digadaikan oleh pengembangnya," ungkap Fitrah.

Sengketa properti antara konsumen dan pengembang bukan terjadi sekali ini saja. Sebelumnya, tahun 2021 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat terdapat 25 pengembang yang diadukan konsumennya.

Oleh karena itu, Fitrah menegaskan kepada para pihak pemangku kepentingan di sektor properti agar taat dan mengimplementasikan regulasi-regulasi yang sudah ditetapkan. Tak hanya pengembang, juga pemda yang mengeluarkan perizinan proyek properti. 

Sekarang sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) 12 Tahun tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun.

"Kami selalu menyampaikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendorong agar pemda menyiapkan aturan turunannya, seperti pada PP 12 yang menyatakan bahwa pengawasan dari pemasaran harus dilakukan oleh pemda," tegas Fitrah.

Pada beleid itu juga tercantum klausul yang menyatakan bahwa informasi dalam pemasaran harus mengandung poin-poin yang bisa diminta oleh konsumen, seperti legalitas lahan, Perizinan Bangunan Gedung (PBG), dan lain-lain. "Sehingga, konsumen bisa melihat lokasi proyek properti yang mereka minati, tidak akan tertipu oleh pengembang nakal," tuntas Fitrah.

Sudah seharusnya pemerintah tidak tinggal diam dalam kasus proyek Meikarta. Bagaimana pemerintah baik pusat dan daerah harus ikut bertanggung jawab karena izin proyek Meikarta dikeluarkan oleh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto