Konsumsi Batubara RI Cetak Rekor, Bagaimana Update Diversifikasi Bisnis Non-Batubara?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten tambang batubara terus mengembangkan diversifikasi bisnis non-batubara untuk meningkatkan kontribusi bisnis tersebut terhadap perusahaan.

Komitmen untuk melakukan transisi energi ke arah energi baru terbarukan sedang digencarkan oleh pemerintah. Namun, menurut data dari lembaga think tank Ember, pada tahun 2023, Indonesia dan Filipina mencatat penggunaan batubara untuk pembangkit listrik mencapai rekor tertinggi, melampaui Polandia dan China.

Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Febriati Nadira, mengungkapkan bahwa Adaro tetap berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini sambil mempersiapkan transisi menuju operasi yang lebih berkelanjutan dalam peralihan menuju energi hijau.


"Kami memastikan kegiatan operasional berjalan dengan baik dengan fokus pada keunggulan operasional dan efisiensi biaya, sehingga dapat menghasilkan marjin dan arus kas yang sehat," kata Febriati kepada Kontan, Kamis (4/7).

Baca Juga: Adaro Energy (ADRO) Bidik 50% Pendapatan Non Batubara di tahun 2030

Febriati menegaskan bahwa prospek bisnis energi hijau ke depan sangat menjanjikan, namun investasi dalam bisnis hijau memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar.

"Kami menargetkan bahwa pada tahun 2030, 50% dari total pendapatan Adaro akan berasal dari bisnis non-batubara termal, sejalan dengan komitmen kami terhadap Net Zero Emission (NZE) yang telah kami publikasikan pada tahun 2023," tambah Febriati.

Selain itu, Adaro tengah mengembangkan bisnis di sektor-sektor yang mendukung ekosistem ekonomi hijau di Indonesia, seperti pembangunan smelter aluminium, perluasan pasar batu bara metalurgi, eksplorasi produk mineral hijau, dan pengembangan bisnis energi terbarukan.

Adaro membangun aluminium smelter di Kawasan Industri Hijau Indonesia yang terbesar di dunia. 

Hingga saat ini konstruksi smelter aluminium dan infrastruktur terkait berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan tetap berada pada posisi untuk merampungkan pada tahun 2025 untuk tahap 1sebesar 500.000 ton per tahun. 

Untuk PLTA Mentarang Induk berkapasitas 1375 MW rencananya akan beroperasi di tahun 2030.

Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Niko Chandra, menjelaskan bahwa PTBA juga sedang melakukan diversifikasi bisnis ke arah energi baru terbarukan (EBT).

"Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, kami yakin bahwa EBT akan semakin efisien. Target kami adalah bahwa pada tahun 2030, pendapatan dari bisnis energi, termasuk EBT, akan mencapai 30% dari total pendapatan perusahaan," ujar Niko kepada Kontan, Kamis (4/7).

Niko melaporkan bahwa PTBA telah sukses membangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bandara Soekarno-Hatta bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero), yang sudah beroperasi penuh sejak Oktober 2020. PLTS ini memiliki kapasitas maksimal 241 kilowatt-peak (kWp) dan terpasang di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC).

Selain itu, PTBA juga telah bekerjasama dengan Jasa Marga Group untuk mengembangkan PLTS di jalan tol. Salah satunya adalah PLTS berkapasitas 400 kWp di Jalan Tol Bali-Mandara yang telah beroperasi sejak 21 September 2022.

PTBA juga tengah menjajaki pemanfaatan lahan-lahan bekas tambang untuk pengembangan PLTS, seperti di Ombilin (Sumatera Barat), Tanjung Enim (Sumatera Selatan), dan Bantuas (Kalimantan Timur), dengan potensi PLTS mencapai 200 Megawatt-peak (MWp).

Untuk mendukung pengembangan teknologi di bidang energi baru dan terbarukan (EBT), PTBA aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN) dan perguruan tinggi.

Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) Targetkan Pendapatan Bisnis EBT Capai 30% pada 2030

Direktur Utama PT Harum Energy Tbk (HRUM), Ray Antonio Gunara, menegaskan bahwa upaya diversifikasi bisnis non-batubara HRUM sedang berjalan lancar dan sesuai rencana perusahaan.

Pada tahun 2024, kedua smelter milik perusahaan telah beroperasi penuh dengan kapasitas terpasang sekitar 84.000 ton nikel metal per tahun.

HRUM juga sedang mengembangkan proyek permurnian nikel baru dengan teknologi HPAL untuk meningkatkan produksi nikel di masa mendatang.

"Kami juga menargetkan untuk memulai produksi bijih nikel dari tambang nikel kami sebelum akhir tahun ini," ujar Ray kepada Kontan, Kamis (4/7).

Ray menambahkan bahwa strategi HRUM fokus pada investasi di sektor hulu untuk meningkatkan sumber daya bijih nikel dan di sektor hilir untuk produk-produk yang memberikan nilai tambah serta meningkatkan integrasi bisnis nikel HRUM secara keseluruhan.

"Dengan mulai beroperasinya smelter baru di awal tahun ini, kami berharap mayoritas pendapatan HRUM akan berasal dari bisnis non-batubara," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .