Konsumsi rokok, ekonom UI: Tidak fokus cukai saja, tapi pada keterjangkauan harga



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan bahwa untuk mengurangi konsumsi rokok pemerintah sebaiknya tidak fokus pada cukai, tetapi pada keterjangkauan harga. Kebijakan harga dinilai paling efektif untuk mengendalikan konsumsi tembakau yang tinggi di Indonesia.

“Cukai memang akan menaikkan harga, tetapi karena ada kecenderungan perusahaan menanggung ini, maka tidak jadi efektif,” ujarnya dalam Serial Diskusi “Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia” Aliansi Jurnalis Independen Jakarta secara virtual, (Senin 26/1) lalu.

Sekalipun pemerintah telah menetapkan tarif cukai, harga jualnya akan ditentukan sendiri oleh perusahaan dengan harga yang masih terjangkau oleh konsumen.


“Perusahaan akan selalu berusaha membuat harga yang terjangkau, agar dia bisa menjual banyak,” ujarnya.

Baca Juga: Cukai hasil tembakau mulai berlaku pekan depan, ini harapan Sri Mulyani

Tetapi, seandainya pemerintah memiliki ketegasan untuk menentukan harga jual eceran, lanjutnya, keterjangkauan rokok akan makin sempit.

“Soalnya perokok tidak peduli dan tidak memikirkan berapa persen cukainya, yang penting harga akhirnya murah. Jadi produsen itu lebih sensitif terhadap harga minimum dibandingkan dengan harga cukai, karena mereka tidak membebankan cukai ke konsumen,” ujarnya.

Saat ini harga rokok di Indonesia sendiri diatur melalui 2 mekanisme, yakni ketentuan minimum Harga Jual Eceran (HJE) sebagai harga yang didaftarkan di pita cukai serta Harga Transaksi Pasar (HTP) sebagai harga riil di tingkat konsumen.

Pengawasan HTP sebagai harga rokok yang sebenarnya dibeli konsumen saat ini diatur dalam Perdirjen No.37/2017 tentang Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang mewajibkan pabrikan mematok HTP rokok minimum 85% dari harga jual eceran (HJE).

“Sebelum 2017 tidak ada batasan 85% itu, harga rokok bisa dijual lebih rendah dari harga banderol oleh perusahaan besar demi memasarkan produknya dan ini sangat bahaya bagi pengendalian konsumsi. Ini dinamakan predatory pricing,” ujarnya.

Baca Juga: Berharap produksi rokok turun 3,2%, cukai hasil tembakau mulai berlaku pekan depan

Hal ini dinilai telah melanggar undang-undang tentang praktik monopoli dan akan memicu perusahaan melakukan perang harga. Tanpa adanya batasan tersebut, justru tujuan kebijakan cukai berlapis untuk melindungi perusahaan kecil juga tidak terjadi.

Perusahaan seharusnya taat pada peraturan ini, namun faktanya memang banyak yang melanggar dan menjual produknya di bawah 85%. Untuk pelanggaran terhadap aturan ini, Kementerian Keuangan perlu mengawasi dan memberikan hukuman yang tegas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto