JAKARTA. Tahun ini PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) merancang sejumlah ekspansi. Produsen nikel itu berniat membangun dua fasilitas pengolahan tambang (smelter) dan mengembangkan satu smelter di tiga lokasi berbeda. Untuk merealisasikan rencana itu,
INCO menggelontorkan dana US$ 4 miliar. Dana sebesar itu untuk ekspansi jangka panjang hingga lima tahun ke depan. Investasi tersebut merupakan komitmen perusahaan ini setelah memperoleh perpanjangan kontrak karya dari pemerintah hingga tahun 2045.
INCO akan memakai US$ 2 miliar untuk membangun smelter di Bahadopi, Sulawesi Tenggara dan pengembangan smelter di Sorowako, Sulawesi Selatan. Adapun US$ 2 miliar lagi untuk proyek smelter greenfield di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Hasan, analis Ciptadana Securities, menilai, langkah
INCO membangun smelter cukup positif bagi kinerja perusahaan itu. Ekspansi ini dapat menambah kapasitas produksi
INCO. Sejak pemerintah melarang mengekspor bijih nikel, para produsen bersiap membangun smelter. Hasan bilang, INCO merupakan perusahaan yang cukup siap dibandingkan produsen lain seperti PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM). Soal pembiayaan,
INCO tengah mencari opsi terbaik, termasuk pendanaan eksternal. Harga nikel yang belum stabil turut mempengaruhi besaran investasi dan kebutuhan dana
INCO. Febriany, Direktur Keuangan
INCO, sebelumnya bilang, manajemen masih memiliki ruang mencari pendanaan eksternal. Per September 2014, debt equity ratio (DER)
INCO masih terbilang kecil, yakni 0,28 kali. Tahun ini
INCO memprediksi, menyerap dana belanja modal lebih dari US$ 100 juta. Perseroan juga siap menggenjot efisiensi demi menekan beban operasional. Saat ini
INCO melakukan efisiensi, dengan mengubah batubara sebagai pengganti minyak untuk bahan bakar operasional di salah satu kilang. Saat ini
INCO memiliki dua kilang, yang salah satu kilang sudah berubah menggunakan batubara. "Hal itu agar margin
INCO tetap terjaga," kata Hasan. Analis Danareksa Sekuritas, Stefanus Darmagiri dalam riset pada 28 Januari 2015 menulis, penurunan harga nikel bisa memukul laba INCO di kuartal IV 2014. "Kami masih mengharapkan ada penguatan harga nikel sehingga laba bersih
INCO bisa solid," kata dia.
Meski begitu, koreksi harga minyak di saat yang sama bisa berefek positif bagi
INCO. Hal itu dapat menurunkan biaya produksi perusahaan dan membantu mengerek margin. Stefanus menebak, permintaan nikel tahun ini meningkat 8,3% year on year (yoy). Sehingga
INCO dapat mengantongi margin kotor 32% di 2015, lebih tinggi ketimbang perkiraan tahun lalu 29%. Analis Trimegah Securities, Willinoy Sitorus memperkirakan, pendapatan
INCO tahun ini sekitar US$ 1,12 miliar, tumbuh dibandingkan proyeksi tahun lalu di angka US$ 1,04 miliar. Laba bersih diprediksi US$ 176 juta, naik 41% daripada estimasi tahun lalu yang senilai US$ 125 juta. Hasan dan Stefanus merekomendasikan buy
INCO dengan harga wajar masing-masing Rp 4.270 dan Rp 4.700 per saham. Adapun Willinoy merekomendasikan sell di harga Rp 3.260. Harga saham
INCO kemarin turun 1,45% menjadi Rp 3.400 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa