KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa tahun ke depan, beberapa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berskala jumbo akan habis kontraknya. Satu di antaranya adalah milik PT Adaro Indonesia. Masa kontrak anak usaha PT Adaro Energy Tbk (
ADRO) tersebut akan habis pada 1 Oktober 2022. Menanggapi hal itu, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir mengatakan bahwa pihaknya belum akan mengajukan perpanjangan kontrak sekaligus peralihan izin dari PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurut pria yang akrab disapa Boy Thohir itu, Adaro masih menunggu aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba). Seperti diketahui, saat ini ada tiga Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang disusun sebagai aturan pelaksanaan UU Minerba.
"Kami masih ada waktu sampai 2022, dan memang kami masih menunggu PP, setelah PP nanti ada Permen (Peraturan Menteri)-nya," kata Boy dalam media gathering yang digelar secara daring, Selasa (20/10) sore.
Baca Juga: Enggan akuisisi PLTU Paiton, ini fokus Adaro Energy (ADRO) di bisnis kelistrikan Yang pasti, Boy melihat bahwa UU Minerba baru itu memberikan kepastian hukum bagi para pemegang PKP2B yang akan habis kontrak, maupun bagi usaha tambang secara keseluruhan. Kata dia, Adaro bakal mengikuti ketentuan yang disyaratkan untuk bisa mendapatkan perpanjangan izin dan menjadi IUPK. "Dengan UU Minerba yang baru itu menjawab, bahwa kepastian hukum di Indonesia dihargai oleh pemerintah dan DPR," sambung Boy. Menurut dia, kepastian hukum tersebut sangat penting, baik untuk menjaga iklim investasi tetap kondusif maupun menarik investor asing. Pasalnya, dalam 10 tahun-15 tahun terakhir, minat investor asing untuk menanamkan modalnya di tambang Indonesia terhitung semakin minim. "Tapi dengan disahkannya UU Minerba, saya rasa ini akan memberikan efek positif baik investor asing dan dalam negeri dalam berusaha dan mengembangkan bisnis sumber daya alam di Indonesia," terang Boy. Untuk memperoleh perpanjangan izin dari PKP2B menjadi IUPK, salah satu syarat yang mesti dipenuhi adalah hilirisasi batubara. Selain pemanfaatan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), ADRO pun tengah melakukan penjajakan dan mencari teknologi yang tepat untuk hilirisasi batubara dalam bentuk lain, yang sesuai dengan model bisnisnya. "Tentu kami pilah-pilah, mana yang sesuai dengan model bisnis kami. Kami sudah mulai melakukan inisiatif itu, melakukan studi dengan beberapa perusahaan yang mempunyai teknologi dalam hilirisasi," ungkap Boy. Asal tahu saja, PT Adaro Indonesia merupakan perusahaan pertambangan terbesar dalam Adaro Group. Salah satu pemegang PKP2B generasi pertama itu menjalankan operasi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dengan luas konsesi mencapai 31.380 hektare (ha). Adapun, permohonan kelanjutan operasi kontrak/perjanjian bisa diajukan kepada Menteri ESDM paling cepat 5 tahun dan paling lambat satu tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
Sebagai informasi, perusahaan yang kontraknya berakhir dalam waktu dekat adalah PT Arutmin Indonesia. Arutmin memiliki wilayah tambang dengan luas 57.107 ha, dan kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020. Selain Arutmin dan Adaro, ada lima PKP2B generasi pertama lain yang akan habis kontrak. Yakni PT Kendilo Coal Indonesia (1.869 ha/13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (84.938 ha/31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (39.972 ha/ 1 April 2022), PT Kideco Jaya Agung (47.500 ha/13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (108.009/26 April 2025). Hingga akhir Agustus 2020, baru ada 3 PKP2B yang mengajukan perpanjangan izin. Yakni PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal dan PT Multi Harapan Utama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi