KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap ekspor nasional masih rendah dibandingkan beberapa negara lainnya, ekonom pun menyebut berbagai penyebabnya. Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia mencatat, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional tahun 2022 hanya sebesar 15,6%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Tiongkok dengan kontribusi ekspor sebesar 60%, Korea Selatan 48%, dan Thailand 29%.
Baca Juga: Menilik Kualitas KUR Perbankan Saat Jadi Prioritas Kredit UMKM Direktur Eksekutif Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, rendahnya kontribusi UMKM ke ekspor nasional disebabkan oleh dominasi usaha dalam negeri yang berorientasi domestik di dalam struktur usaha mereka. Menurutnya, struktur dari perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor kebanyakan diisi perusahaan besar, karena tingkat ketahanan dalam keberlangsungan menjual produk di kurun waktu yang stabil, berbeda dengan struktur usaha dari UMKM. "Kalau di UMKM kan dia nggak kuat, dia mungkin sekali setahun hanya dua kali atau tiga kali (ekspor), dan mereka kalau untuk menambah lebih besar kekurangan permodalan, kekurangan sumber daya, nggak bisa besar lagi. Problemnya klasik, apakah dananya nggak ada, atau kualitasnya masih kurang dan sebagainya," terang Tauhid kepada Kontan.co.id, Kamis (10/8). Selain itu, Tauhid menyebut penyebab lainnya dari kontribusi ekspor yang minim ini dikarenakan UMKM yang lebih berpangku pada produk berbasis sumber daya alam (SDA), alih-alih produk dengan nilai tambah tinggi, seperti barang elektronik, fesyen dan sebagainya.
Baca Juga: Kondisi Perekonomian Berkontribusi Terhadap Angka Kredit Macet Adapun target kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional yang ditetapkan pemerintah sebesar 17% di tahun 2024. Menurut Tauhid, untuk mencapai target tersebut, ada berbagai langkah yang harus ditempuh dan dibenahi pemerintah terlebih dahulu.
Beberapa di antaranya adalah peningkatan dalam segi kualitas produksi, kapasitas sumber daya manusia (SDM), akses ke pembiayaan, dan ekosistem khususnya infrastruktur. "Produk teknologi rata-rata nilai tambahnya tinggi ketimbang produk berbasis sumber daya alam ya misalnya handphone, manfaatnya bisa di atas 50% dari selisih harganya. Beda dari produk pertanian, perikanan, itu kecil gitu, saya kira penting peningkatan kualitas SDM, harus ada pembinaan pemuatan kelompok, seperti teknikal asisten dari orang yang ahli," ucapnya. Dia menambahkan, digitalisasi UMKM juga menjadi poin penting. Semakin banyak UMKM yang mengenal dunia digital, maka pasar akan semakin berkembang dengan meningkatnya daya saing antar pelaku usaha, khususnya antar negara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto