JAKARTA. Lagi-lagi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kaget publik negeri ini. Pasalnya, yang ditangkap kali ini adalah Patrialis Akbar, mantan Menteri Hukum dan HAM yang saat ini menjadi Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK). Suap terhadap Patrialis berkaitan dengan uji materi Undang-Undang No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis ditangkap bersama dengan 10 orang lain yang terkait dengan uji materi tersebut. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, OTT dilakukan pada Rabu (25/1) malam hingga Kamis (26/1) dini hari. Setelah diperiksa, Patrialis kini telah ditetapkan sebagai tersangka sebagai penerima uang. Begitu pun dengan tiga orang lainnya, yakni Basuki Hariman, Fenny, dan Kamaludin.
Sementara, tujuh orang lain masih berstatus sebagai saksi. Patrialis menerima suap berupa uang US$ 20.000 dan S$ 200.000 dari Basuki Hariman yang merupakan pemilik 20 perusahaan pengimpor daging. Uang itu diberikan melalui Kamaludin, yang juga merupakan pengusaha. Menurut Basaria, OTT tersebut dilakukan setelah KPK menerima laporan dari masyarakat. Penangkapan terhadap 11 orang tersebut pun dilakukan di beberapa tempat. "Saat OTT, PAK (Patrialis) tengah berada di Grand Indonesia bersama seorang wanita," ujar Basaria, Kamis (26/1). Sedangkan Basuki di tangkap di kantornya di Sunter, Jakarta Utara. Begitu juga dengan Fenny yang merupakan sekretaris Basuki. Sementara Kamaludin di Lapangan Golf Rawamangun. Sementara itu, Patrialis membantah telah menerima uang sehubungan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan. "Tidak pernah saya terima uang satu rupiah pun dari orang yang namanya Basuki, apalagi Basuki bukan orang yang berperkara di MK, tidak ada kaitannya dengan perkara itu. Dia bukan pihak yang berperkara," kata Patrialis seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Kamis (26/1) malam. Patrialis menyampaikan untuk Ketua MK, Wakil Ketua MK, para hakim MK, dan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa dirinya merasa dizolimi atas penetapan dirinya sebagai tersangka tersebut. "Demi Allah, saya betul-betul dizolimi, ya nanti kalian bisa tanya sama Basuki, bicara uang saja saya tidak pernah," ucap mantan Menteri Hukum dan HAM periode 2009-2011 itu. Jelang putusan Merujuk laman Mahkamah Konstitusi
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id), uji materi Undang Undang Nomor 41 tahun 2014 itu diregistasi pada 29 Oktober 2015 dengan nomor perkara 129/PUU-XIII/2015. Ada enam pihak yang menjadi pemohon, yakni Teguh Boediyana (peternak sapi), Mangku Sitepu (dokter hewan), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (perkumpulan peternak sapi perah di Indonesia), Gun Gun Muhammad Lutfi Nugraha (petani dan konsumen daging dan susu segar), Asnawi (pedagang daging sapi), dan Rachmat Pambudy (dosen sekaligus konsumen daging dan susu segar). Sedangkan Patrialis Akbar menjadi hakim anggota dalam perkara ini. Berdasarkan resume perkara, menurut para pemohon, merasa dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan aturan impor daging berbasis zona (zona based) di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Pasal-pasal yang dimohon uji materi adalah:
Pasal 36C ayat (1) Pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Pasal 36C ayat (3) Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu: a. Dinyatakan bebas penyakit hewan menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia. b. Dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan c. Ditetapkan tempat pemasukan tertentu. Pasal 36D ayat (1) Pemasukan ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu. Pasal 36E ayat (1) Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternah dan/atau produk hewan. Menurut pemohon, pemberlakuan aturan impor daging berbasis zona (zona based) tersebut mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati. Beleid ini menjadi dasar hukum pemerintah untuk membuka impor daging berbasis zona (
zone-based). Skema ini menggantikan impor berbasis negara (country-based) yang sebelumnya berlaku. Impor daging kerbau dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) seperti India sangat berisiko. Harga daging kerbau India yang murah pun bakal mengganggu peternak lokal Asal tahu saja, pemerintah menugasi Perum Bulog mengimpor 10 ribu ton daging kerbau untuk menekan harga daging sapi yang masih di atas Rp 100 ribu per kilogram setelah Lebaran 2016. Impor dilakukan beberapa tahap hingga akhir 2016. Daging kerbau beku hasil impor tahap pertama ditargetkan masuk pertengahan Juli 2016. Adapun izin impor ini akan diberikan sampai dengan Juni 2017. "Kita menargetkan impor daging hingga 100 ribu ton. Sebanyak 70 ribu ton hingga akhir Desember 2016, sisanya sebanyak 30 ribu ton untuk persiapan puasa dan Lebaran tahun depan," ungkap Darmin di kantornya usai Rapat Koordinasi Pangan, khususnya daging , Selasa (13/9/2016). Ketua Umum Dewan Peternak Rakyat Nasional Teguh Boediyana selaku pemohon uji materi curiga Patrialis Akbar sengaja menunda putusan uji materi Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Proses persidangan berjalan hampir setahun dan selesai pada 12 Mei 2016, namun hingga kini putusan belum dibacakan. Menurut Teguh, lamanya jeda tersebut dimanfaatkan oknum pebisnis agar bisa mengimpor hewan dari negara-negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku. "Kami baru paham mengapa hingga hari ini belum ada putusan," kata Teguh. Ketua MK Arief Hidayat mengakui gugatan tersebut saat ini masih berjalan. "Perkara itu memang ada, dan saat ini statusnya sudah final dan siap untuk dibacakan putusannya," katanya. Kontroversial Sejak diproses dan disahkan oleh DPR, UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mengundang kontroversi. Diduga bahwa pada pasal-pasal krusialnya tidak dilengkapi dengan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif. Rochadi Tawaf, Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) melalui akun resmi
Kompasiana miliknya menuturkan proses pembahasan beleid ini sama sekali tidak melibatkan para pemangku kepentingan yang sama, dimana mereka turut merumuskan UU No. 18/2009. “Selain itu, waktu kelahirannya pun terjadi dipenghujung berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan pemerintahan SBY. Karena waktu pengesehaannya terburu-buru, akibatnya UU ini tidak dilakukan pembahasan secara intensif,” tulisnya. Setidaknya ada tiga poin yang menjadi sorotan Rochadi atas terbitnya beleid ini:
Pertama, impor sapi siap potong. Dalam rangka mengantisipasi puasa dan lebaran tahun 2015 lalu, pemerintah melalui Menteri Perdagangan ternyata telah mengeluarkan izin impor triwulan II bagi sapi bakalan sebanyak 250.000 ekor. Untuk lebih mengantisipasi agar harga daging sapi tidak melonjak tajam pemerintah telah menerbitkan pula izin impor sebanyak 29.000 ekor sapi siap potong. Kebijakan ini sungguh di luar dugaan, karena pada kasus ini jelas-jelas pemerintah sebenarnya telah melanggar UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan kesehatan hewan (PKH). Dimana pada pasal 36B ayat 2, dinyatakan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri harus merupakan bakalan, bukannya sapi siap potong.
Kedua, maksimum sekuriti. Dalam pasal-pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini, malah justru sebaliknya yaitu menjadi minimum sekuriti. Misalnya pasal 59 ayat 2 pada UU No. 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukan ke Indonesia boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan. Pasal ini sebenarnya telah diubah oleh MK menjadi ‘berasal dari suatu negara’ bukan berasal dari zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan maksimum sekuriti. Namun faktanya, dalam UU No. 41/2014 hal tersebut muncul kembali di Pasal 36C. Pasal ini jelas-jelas tidak memperhatikan keputusan judicial review yang dilakukan oleh MK di tahun 2009 lalu. Walaupun dalam perubahan ini terdapat perbedaan antara komoditi produk hewan dengan ternak ruminansia indukan. Perbedaan komoditi pada UU No. 18/2009 dengan UU No. 41/2014 tidak serta merta menyebabkan rendahnya resiko yang akan terjadi terhadap berjangkitnya suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.
Ketiga, waktu penggemukan sapi. Kontroversi berikutnya, mengenai perkembangan inovasi teknologi feedlot yang tertera pada pasal 36B ayat 5 yaitu: bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan. Ayat ini jelas-jelas bahwa pemerintah seolah tidak menghendaki usaha peternakan di dalam negeri berkembang secara layak. Bahkan akibat pasal ini, tentunya para pengusaha penggemukan sapi potong akan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan bahwa kemajuan teknologi penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dari empat bulan, katakanlah dua atau tiga bulan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto