KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Koperasi dinilai melanggar dan berpotensi merugikan koperasi. Apalagi ditambah dengan adanya irisan antara koperasi open loop dan close loop. Sekadar mengingatkan, pemerintah berencana memisahkan koperasi di mana nantinya Kementerian Koperasi dan UKM akan menaungi koperasi close loop sedangkan OJK akan membawahi koperasi open loop. Forum Ketua Koperasi Indonesia (Forkopi) Andy Arslan Djunaid secara tegas menyampaikan, pada prinsipnya anggota Forkopi yang mencapai 2.000 koperasi simpan pinjam tidak setuju dengan rencana koperasi di bawah OJK melalui undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Baca Juga: Kembangkan Kopi Amungme, PT Freeport Indonesia Raih Indonesia Coffee Heroes Award2023 “Kenapa kami tidak setuju di bawah OJK, karena ada Kementerian Koperasi, jadi kami seharusnya di bawah KemenKop UKM,” ujarnya kepada KONTAN Rabu (25/10). Andy menjelaskan, alasan koperasi akan dipindahkan pengawasannya di bawah OJK disebabkan adanya masalah yang menimpa delapan koperasi beberapa waktu belakangan. Sehingga, kata dia, KemenKop berasumsi bahwa koperasi lainnya memiliki praktek yang sama. “Kenapa dengan adanya delapan koperasi bermasalah kita semua di mata KemenKop sama dengan mereka, itu awalnya. Kemudian diiris lagi melalui open loop, close loop, kita tidak pernah tau istilah itu,” jelasnya. Andy membeberkan, awal cerita koperasi simpan pinjam dianggap sebagai open loop di mana dahulu saat pendirian Bank Umum Koperasi Indonesia yang saat ini bernama Bank Bukopin, koperasi dihimbau untuk membeli saham bank tersebut. “Kalau mengacu aturan-aturan yang ada seperti ini itu kan seakan-akan kita menjadi open loop bahwa koperasi punya saham Bukopin,” katanya. Dia menelaah, di RPOJK Koperasi di pasal 2 disebutkan bahwa koperasi menghimpun dana dari anggota koperasi lain. Sementara di dalam undang-undang Koperasi nomor 25 tahun 1992 memperbolehkan koperasi menghimpun dana dari anggota, anggota koperasi lain dan koperasi lain. “Tetapi sekarang di RPOJK Koperasi kriterianya bagi yang melaksanakan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagai berikut, boleh menghimpun dana dari pihak selain anggota koperasi bersangkutan. Artinya, anggota koperasi lain pun tidak boleh, bahkan dulu calon anggota boleh,” terangnya. Andy menilai, ketika peraturan ini diterapkan maka akan banyak yang dianggap melanggar dan ketika koperasi melanggar maka akan masuk kategorinya open loop. “Ketika kita cermati seperti ini termasuk RPOJK Koperasi kemudian Permen 8 ini memang sengaja menjebak koperasi ini masuk ke open loop dan di bawah OJK. kami khawatir nanti ketika itu disahkan pasti akan ada pihak yang melakukan yudisium review,” imbuhnya. Andy menambahkan bahwa koperasi tidak bisa disamakan seperti industri keuangan yang lainnya. Senada dengan Andy, Pengamat Koperasi sekaligus Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi (Akses), Suroto menyampaikan dalam RPOJK tersebut di dalamnya banyak hal yang secara landasan filosofis melanggar dan berpotensi merugikan bagi koperasi. Menurut Suroto, salah satunya transformasi kelembagaan koperasi simpan pinjam menjadi lembaga koperasi jasa keuangan. “Istilah transformasi koperasi sebagai lembaga jasa keuangan ini sudah salah terminologi. Koperasi itu bentuk badan hukum persona ficta yang sama kedudukanya dengan badan hukum bisnis seperti halnya perseroan,” ujarnya kepada KONTAN.
Baca Juga: RPOJK Koperasi Dinilai Melanggar dan Berpotensi Merugikan Koperasi Suroto menjelaskan, memang koperasi di semua negara boleh menyelenggarakan kegiatan di bidang keuangan tanpa batasan, baik di bidang simpan pinjam, asuransi, pegadaian, kepialangan, penjaminan dan lain-lain. “Justru di bidang asuransi misalnya, koperasi itu banyak berperan. Perusahaan koperasi asuransi itu menjadi usaha paling banyak masuk deretan 300 koperasi besar dunia dari jenis atau sektor koperasi. Jumlahnya mencapai 30% lebih. Sebab, prinsip kerja mutual dan praktik solidaritas dari bisnis asuransi ini berkesesuaian dengan misi koperasi,” jelasnya. Suroto bilang, arah RPOJK soal proses transformasi koperasi, terutama simpam pinjam menjadi lembaga jasa keuangan ini sudah cacat secara epistemologis, kurang dipahami aspek filosofinya. “Ini juga justru potensi merusak citra koperasi yang secara definisi adalah sebagai lembaga milik anggota yang dikelola dan dikendalikan secara otonom dan demokratis,” katanya.
Selain itu, Suroto menyoroti penyebutkan Anggota Pengendali yang disebut dalam pasal 9 ayat (3) poin c disebut-sebut bukan bahasa koperasi, melainkan bahasa korporasi yang berpotensi ke penyimpangan terhadap nilai dan prinsip koperasi. “Saya tahu, selama ini istilah tersebut muncul karena ada aturan lain yang tingkatnya di bawah Undang Undang seperti Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengharuskan adanya ketentuan penyebutan bagi anggota pengendali tersebut,” terangnya. Dia menambahkan, peraturan yang tidak sesuai dengan landasan filosofi koperasi itu terus dipaksakan untuk merombak aturan-aturan di atasnya. “Ini adalah bentuk praktik kekacauan hukum yang seharusnya tidak terjadi,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi