Kopi Starbucks di China Lebih Nikmat untuk Dibawa Pulang



KONTAN.CO.ID -  NEW YORK. Starbucks menghadapi tantangan bisnis yang saling bertentangan di berbagai belahan dunia. Konsumen di China misalnya menginginkan variasi minuman baru secara konsisten, pendekatan yang justru memicu masalah di gerai-gerai AS. 

Karena itu memusatkan perhatian pada pasar domestik dan memisahkan operasi di pasar terbesar kedua (China) dapat menjadi langkah strategis yang cerdas.  

Kepemimpinan CEO baru Brian Niccol menghadapi tantangan besar. Sepanjang tahun, saham Starbucks turun sekitar 2%, jauh tertinggal dibandingkan kenaikan 32% pada Indeks S&P 500. 


Baca Juga: Starbucks Pertimbangkan Kerjasama Strategis untuk Pulihkan Bisnisnya di China

Penjualan Starbucks di AS untuk kuartal yang berakhir 29 September turun 6%, sementara penurunan di China dua kali lebih cepat. 

Niccol membatalkan proyeksi kinerja bisnis Starbucks sebesar US$ 115 miliar pada 2025 dan berkomitmen untuk kembali ke hal mendasar, termasuk mempersingkat waktu tunggu pelanggan dan menyederhanakan menu dari berbagai minuman berkafein dan manis.  

Tantangan di Tiongkok berbeda. Pengeluaran konsumen melemah meskipun kopi menjadi salah satu kategori makanan dan minuman dengan pertumbuhan tercepat. Konsumsi kopi per kapita meningkat 14 kali lipat antara 2008 hingga 2022, menurut perkiraan analis Bernstein.  

Akibatnya, persaingan semakin ketat sejak Starbucks membuka toko pertamanya di Beijing 25 tahun lalu. Pemain lokal seperti Luckin Coffee dan Cotti Coffee semakin populer, terutama dengan menawarkan rasa-rasa baru. 

Baca Juga: Ini Strategi CEO Baru Starbucks untuk Menarik Konsumen

Luckin, yang pulih dari skandal akuntansi pada 2020, meluncurkan 28 minuman baru hanya dalam kuartal ketiga tahun ini. Pangsa pasar Starbucks pun turun dari 39% pada 2014 menjadi 19% pada 2023, menurut Euromonitor.  

Niccol, yang sebelumnya memimpin Chipotle Mexican Grill, tidak memiliki pengalaman dengan pasar Tiongkok. Starbucks juga gagal memenuhi target tahun 2019 untuk melipatgandakan pendapatannya di Tiongkok pada 2024. 

Hingga saat ini, penjualan hanya meningkat 5% meskipun jumlah gerai bertambah 84% menjadi hampir 7.600 lokasi dalam periode yang sama. Perusahaan sedang mempertimbangkan opsi strategis, termasuk menggandeng mitra lokal. Langkah lebih jauh mungkin diperlukan.  

Yum Brands, pemilik jaringan Pizza Hut dan KFC, berhasil meningkatkan nilai sahamnya setelah memisahkan operasi Tiongkok pada 2016. 

Baca Juga: Starbucks Hadapi Penurunan Penjualan Terbesar Sejak Pandemi

Dengan asumsi pendapatan Starbucks China mencapai US$ 3 miliar pada tahun fiskal yang berakhir 29 September, dengan margin operasi setara divisi internasional sebesar 14%, maka laba sebelum pajak diperkirakan US$ 420 juta. 

Berdasarkan kelipatan valuasi Yum China sebesar 16 kali menurut Visible Alpha, nilai perusahaan tersebut dapat mencapai hampir US$ 7 miliar. Langkah memisahkan bisnis ini ibarat espresso yang lebih baik disajikan untuk dibawa pulang.

Selanjutnya: Jasnita Telekomindo (JAST) Mengincar Penjualan Rp 135 Miliar

Menarik Dibaca: Promo KFC Makan Gratis & Cashback 100% di Seabank s/d 30 November 2024

Editor: Noverius Laoli